Rabu, 14 Mei 2008

sistem hukum indonesia

PERBEDAAN SISTEM ANGLO SAXSON DAN EROPA KONTINENTAL

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukun Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukun continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman)
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.

SISTEM ANGLOSAXON

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara
Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.
Sejarah Anglo-Saxon ini, oleh Theresa Tomlinson, diangkat menjadi latar cerita dalam novel Gadis Serigala, sebuah fiksi remaja tentang seorang gadis pemberani bernama Wulfrun. Wulfrun anak seorang penenun, Cwen. Mereka tinggal di wilayah kekuasaan Biara Whitby yang dikepalai oleh Suster Hild. Setiap hari, Wulfrun bertugas menggembalakan angsa-angsa mereka bersama sahabatnya, Cadmon, seorang penggembala sapi. Cwen anak-beranak hidup sangat miskin. Saking miskinnya, dia terpaksa menjual putra sulungnya, Sebbi, sebagai budak. Pada masa tersebut, perbudakan masih menjadi sesuatu yang lazim terjadi. Barangkali akibat perang yang terus berlangsung antara daerah-daerah yang saling berseteru. Rakyat di sana terbagi menjadi dua: kaum bebas dan kaum tak bebas.
Sejarah Eropa dan Amerika Utara menjadi acuan bagi studi kasus bangkitnya lapisan menengah, yang lebih dikenal sebagai perjuangan kelas menengah selama abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Dua model yang diajukan Francois Raillon, yakni model Anglo-Saxon dan model Eropa Kontinental, menarik untuk disimak. Model Anglo-Saxon, yang menurut Raillon terlalu mengandalkan pengalaman sejarah kaum borjuis Inggris dan Amerika Serikat, tak selamanya relevan untuk menjelaskan kemungkinan tumbuhnya demokratisasi politik dan ekonomi di negara berkembang. Terlalu banyak menekanan diberikan pada model “masyarakat” berhadapan dengan “negara”. Raillon mengisahkan bahwa lapisan menengah dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh kehidupan negara, karena keterkaitan antara pejabat negara dan mitranya di kalangan swasta. Model ini, katanya, lebih cocok untuk menggambarkan tumbuhnya lapisan menengah, terutama di negara bekas jajahan Prancis, termasuk di Indocina.
Perdebatan tentang model Anglo-Saxon atau model Eropa Kontinental sesungguhnya tak bermakna terlalu besar. Bagaimanapun, kedua model itu dikembangkan atas dasar struktur dan sifat perekonomian dunia yang jauh berbeda dari perkembangan ekonomi 30 tahun terakhir. Perekonomian dunia 30 tahun terakhir (1966-1996) jauh berbeda dengan perekonomian masa sebelumnya, tatkala revolusi informasi belum berkembang pesat. Karena lingkungan berbeda maka berbeda pula lintasan peran lapisan menengah mancanegara.
Perbedaan paling utama ialah lapisan menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal pada ekonomi informasi atau ekonomi pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak ekonomi di dunia sekarang lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa, teknologi) daripada perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti pendorong perekonomian lebih banyak dilakukan oleh kecepatan dan ketepatan pengolahan ilmu pengetahuan daripada pemroses produksi barang dan distribusi. Setiap hari sekitar US$ 1,6 trilyun diolah dalam transaksi valuta asing, sedangkan perdagangan barang manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan) “hanya” sekitar US$ 600 milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara sebagian terbesar adalah ahli pengolah otak daripada pengolah otot. Maka lapisan menengah masa kini bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an atau 1950-an yang menjadi pemilik tanah, modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia kini makin terdiri atas pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang pasar modal, dokter spesialis). Kesetiaan mereka adalah pada keahlian profesinya, bukan terhadap
perusahaan tertentu.
Di sisi lain, Friedman tidak menganalisis lebih jauh bahwa pada dasarnya demokrasi bukan sebuah sistem praktis untuk setiap negara dengan resep yang sama, yang hal ini terlihat dari tradisi Kontinental dan Anglo-Saxon. Bahkan kini Nicholas Syarkozi ingin agar Prancis lebih menyerupai demokrasi Amerika. Maksudnya, pengembangan demokrasi lebih dekat dengan kecenderungan yang nisbi atau sesuatu yang to come dan tertunda sebagaimana diungkap filsuf Derrida. Ketidakmampuan melihat tabiat dan kondisi Timur Tengah-lah yang menyebabkan kegagalan misi Amerika. Pada dasarnya masyarakat Timur Tengah menolak proyek peradaban yang prestisius menuju demokrasi, dan kebebasan bukan karena nilai-nilai itu bertentangan, melainkan lebih disebabkan oleh perbuatan Amerika yang permisif. Pada prinsipnya, masyarakat Arab tidak lebih heterofobia dibandingkan dengan Amerika.
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

System hukum kontinental

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.

Sistem
hukum yang juga dikenal dengan nama
Civil Law ini berasal dari Romawi yang
kemudian berkembang ke Prancis. Per-
kembangannya diawali dengan pendu-
dukan Romawi atas Prancis. Pada masa
itu sistem ini dipraktekkan dalam in-
teraksi antara kedua bangsa untuk me-
ngatur kepentingan mereka. Proses ini
berlangsung bertahun-tahun, sampai-
sampai negara Prancis sendiri menga-
dopsi sistem hukum ini untuk diterap-
kan pada bangsanya sendiri.
Bangsa Prancis membawa sistem ini
ke Negeri Belanda, dengan proses yang
sama dengan masuknya ke Prancis. Se-
lanjutnya sistem ini berkembang ke
Italia, Jerman, Portugal, Spanyol, dan
sebagainya. Sistem ini pun berkembang
ke seluruh daratan benua Eropa.
Ketika bangsa-bangsa Eropa mulai
mencari koloni di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, sistem hukum ini digu-
nakan oleh bangsa-bangsa Eropa ter-
sebut untuk mengatur masyarakat pri-
bumi di daerah jajahannya. Misalnya
Belanda menjajah Indonesia. Pemerin-
tah penjajah menggunakan sistem hu-
kum Eropa Kontinental untuk menga-
tur masyarakat di negeri jajahannya.
Apabila terdapat suatu peristiwa
hukum yang melibatkan orang Belan-
daatau keturunannyadenganorang pri-
bumi, sistem hukum ini yang menjadi
dasar pengaturannya. Selama kurang lebih em-
pat abad di bawah kekuasaan Portugis
dan seperempat abad pendudukan In-
donesia, sistem hukum Eropa Konti-
nental yang berlaku.
Sekarang di bawah Pemerintah Tran-
sisi PBB (UNTAET), sistem hukum ini
tetap diberlakukan di Timor Lorosae.
Pasal 3 Regulasi UNTAET No. 1/
1999 menyebutkan bahwa hukum yang
berlaku di Timor Lorosae sebelum 25
Oktober 1999 tetap berlaku, sejauh ti-
dak bertentangan dengan standar in-
ternasional. Dengan demikian berarti
sistem hukum Eropa Kontinental yang
diberlakukan Indonesia tetap berlaku.
Hal yang membedakan sistem Civil
Law dengan sistem Common Law (yang
juga disebut sistem Anglo-Saxon) ada-
lah, pertama, pada Civil Law dikenal apa
yang dinamakan “kodifikasi hukum”.
Artinya pembukuan jenis-jenis hukum
tertentu dalam kitab undang-undang
secara sistematis dan lengkap. Tujuan-
nya adalah untuk memperoleh kepas-
tian hukum, penyederhanaan hukum,
dan kesatuan hukum. Contoh hukum
yang sudah dikodifikasi dalam kitab
undang-undang adalah Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), Ki-
tab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), dan Kitab Undang-un-
dang Hukum Dagang (KUHD). Ki-
tab-kitab di atas ditulis dan disusun
oleh pemerintah kolonial Belanda dan
diberlakukan di Indonesia sampai seka-
rang. Kedua, sistem hukum Eropa Kon-
tinental tidak mengenal adanya juri di
pengadilan. Hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutuskan suatu per-
kara selalu adalah majelis hakim (panel),
yang terdiri dari tiga orang. Kecuali un-
tuk kasus-kasus ringan dan kasus
perdata, yang menangani bisa hakim
tunggal.

Sistem Hukum Islam

Sistem Hukum (at-Tasyri`) di sini, aspek yang mensinkronisasikan antara prilaku hidup dengan ketentuan hukum yang ditetapkan Allah swt.
Definisi ‘Syari`at’ ‘Syari`at’secara bahasa, berarti : ‘jalan yang lurus’ atau ‘sumber mata air’. Secara terminologi, artinya : "Semua yang ditetapkan Allah atas hambaNya berupa agama (dien) dari berbagai hukum".
Karakteristik ‘Syari`at’

1. Sumbernya Allah Swt. Konsekuensinya :

- Hukum Syari`at bersih dari segala bentuk kecurangan, kelemahan, dan unsur-unsur kepentingan. Karena legislatornya Allah swt. Berbeda dengan Hukum Positif yang tak lepas dari faktor-faktor di atas, karena legislatornya manusia.
Umpamanya, Syari`at meletakkan prinsip "PERSAMAAN DI MATA HUKUM" (al-Musawah Baynan-Nas) yang pertama sekali dikenal adalah di dalam Islam. Syari`at tidak membeda-bedakan orang atas dasar warna kulit, etnis atau bahasa. (Surat al-Hujurat 13), dan Hadits ‘Perempuan dari Bani Makhzum’. Prinsip itu lahir di tengah masyarakat yang diskriminatif oleh faktor etnis dan kabilah. Tetapi Islam berhasil menghapus diskriminasi itu dengan semboyan Hadits Nabi saw : " Tidak ada kelebihan orang Arab dari orang Non-Arab, selain dalam ketakwaan".
Sementara Di AS, hingga sekarang, warga negara dibedakan atas dasar warna kulit. Kulit Putih adalah warga negara kelas satu. Hingga dalam pemukiman pun, kulit putih dan Hitam dipisahkan di AS. Ada kota-kota tertentu terpisah antara orang kulit hitam dengan kulit putih.
Sebagian negara bagian di AS konstitusinya menetapkan perkawinan antara seorang kulit putih dengan kulit merah, tidak sah.
Usaha-usaha yang mengarah pada tuntutan persamaan hak-hak sosial dan perkawinan antara kulit putih dan hitam -baik melalui selebaran, brosur, walau sekadar menyampaikan saran- merupakan perbuatan kriminal dan dapat diancam dengan hukuman denda $ 500 dan penjara enam bulan.
- Syari`at mempunyai wibawa hukum dan penghargaan di mata orang beriman. Contoh : Proses pelarangan miras di Madinah pada masa Nabi Saw, cukup dengan kata "Fajtanibuh" (hindari kamulah!), lorong-lorong kota Madinah menjadi banjir miras. Padahal bangsa Arab terkenal sebagai masyarakat yang sangat suka minuman keras.
Sementara di AS, larangan mengkonsumsi alkohol berakhir dengan kegagalan. Pemerintah AS pernah mengeluarkan UU Pelarangan Miras tahun 1930. Larangan memproduksi, menjual, membeli, mengekspor dan mengimpor miras. Kampanye anti Miras dan iklan di media massa dilakukan secara gencar dengan biaya $ 65 juta US. Berdasarkan statistik, dalam tempo 3 tahun (1930-1933), telah terbunuh 200 jiwa, 500.000 orang ditangkap, denda jutaan dolar. Akhirnya, pemerintah AS mencabut kembali UU tsb akhir 1933.
2. Karakteristik Kedua : Sanksi Hukum Syari`at bersifat duniawi dan ukhrawi
Hukuman asli bagi suatu kejahatan bersifat ukhrawi yaitu siksaan atas orang yang berdosa di hari Akhirat. Tetapi, karena tuntutan keamanan dan ketenteraman masyarakat, syari`at menetapkan hukuman duniawi, baik berbentuk hukuman pidana, ataupun perdata. (Surat an-Nisa’ 13, 14, Al-Ma’idah 33, An-Nisa’ 10).
-Konsekuensinya, setiap muslim patuh dan tunduk pada hukum secara sukarela, tanpa paksaan. Karena, sekalipun ia lepas dari hukuman dunia, tapi ia tidak akan lepas dari hukuman akhirat.
-Kesadaran (Disiplin) Hukum yang Tinggi. Seseorang yang sudah terlanjur berbuat kesalahan, tetapi karena kesadaran hukum yang tinggi ia menyerah pada kekuasaan agar dihukum. Contohnya, kasus Ma`iz yang meminta agar dirinya dijatuhi hadd zina.
3. Karakteristik Ketiga : Berlaku Umum
Syari`at Islam berlaku umum untuk semua orang di semua tempat. Firman Allah Swt : "Katakanlah, wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian semuanya." (Al-A`raf 158), (Saba’ 28).
Konsekuensinya, hukum-hukum syari`at berikut kaedahnya harus mampu mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia, kapan dan di mana saja. Dan mampu mengantarkan masyarakat ke derajat yang paling tinggi (masyarakat ideal). Syari`at Islam memiliki perangkat-perangkat untuk itu.
Alasannya adalah sbb:
1. Syari`at dibangun atas landasan "Demi Mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerugian" (Jalbu al-Mashalih wa Dar’u al-Mafasid). Ketentuan hukum syari`at di bidang apa saja, semuanya mengacu pada kemaslahatan umat manusia.
Prinsip ini didasarkan pada :
1. Firman Allah yang menerangkan alasan diutusnya Rasul Saw : "Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (Al-Anbiya’ 107).
2. Setiap hukum dilandasi oleh alasan (`illat) "merealisasi kemaslahatan" (tahqiq al-Mashalih). Umpamanya, kenapa Allah mewajibkan hukum Qishash dalam pembunuhan? Alasannya adalah demi menjamin kelangsungan hidup manusia. (Al-Baqarah 18). Pelaksanaan Qishash akan meredam kejahatan terhadap jiwa manusia. Allah mengharamkan khamar (miras) dan judi, untuk menghindarkan masyarakat dari permusuhan dan perkelahian. (Al-Ma’idah 91)
3. Dibukanya pintu ‘rukhshah’ dalam kondisi sulit menetapkan hukum.
4. Dengan penelitian, terbukti bahwa maslahat manusia tidak terlepas dari 3 kategori (primer, sekunder dan tertier). Hukum-hukum Syari`at bertujuan mewujudkan dan melindungi ketiga faktor tsb.
2. Prinsip-prinsip syari`at dan kandungannya

Hukum syari`at dapat dibagi atas 2 klassifikasi :
1. Hukum Yang Terperinci
2. Kaedah Umum

1. Hukum-hukum yang terperinci dan bernilai universal, menyangkut :
• `Aqidah dan rukun Iman
• Persoalan Ibadah
• Akhlaq
• Sebagian masalah yang menyangkut hubungan antarsesama manusia, seperti: Hukum Keluarga, Tata cara Perkawinan, Pemeliharaan anak, Hukum Waris, Pelarangan Riba, Ketentuan pidana untuk kejahatan tertentu seperti kejahatan murtad, zina, menuduh orang lain berzina, pencurian, perampokan, minum khamar, dan Qishash.

1. Kaedah Umum yang pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Seperti, prinsip ‘Musyawarah’, ‘Persamaan’, ‘Keadilan’, penetapan kaedah ‘Tidak boleh menimpakan kumudaratan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain’ (La Dharar Wa la Dhirar).
2. Sumber-sumber Hukum Syari`at yang fleksibel, seperti Ijtihad yang merupakan dasar bagi Ijma`, Qiyas, Istihsan, Mashlahat dsb.

4. Karakteristik Keempat : UNIVERSAL
Syari`at dapat dibagi atas 3 kelompok besar :
1. Hukum tentang `Aqidah.
2. Hukum tentang Akhlaq.
3. Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia (`Amaliyah atau Fiqh).

Hukum `Amaliyah dapat dibagi dua :
1 `Ibadat (dimensi vertikal)
2 Mu`amalat (dimensi Horizontal), dapat dibagi atas :
-Hukum Keluarga (Family Law)
-Hukum Finansial dan Transaksi
-Peradilan
-Hukum tentang warganegara asing (Musta’min) dalam Negara Islam
-Hukum Antar Bangsa (International Law)
-Hukum Tata Negara
-Hukum tentang Sumber-sumber Pendapatan Negara
-Hukum Pidana.
Tujuan Hukum Islam
1. Hubungan antar sesama manusia didasarkan atas prinsip ‘KEADILAN’. Tidak membeda-bedakan antara kaya-miskin, kuat-lemah, Arab-Ajam, putih-hitam, melainkan atas dasar ketakwaan. (Al-Hadid 25)
2. Menjalin "PERSAUDARAAN", saling percaya, dan saling pengertian di satu sisi, serta menghindari bibit-bibit permusuhan dan pertikaian. Contohnya penentuan hak dan kewajiban, larangan berlaku curang, zalim, dan penipuan dalam bisnis dan transaksi.
3. Memelihara 3 Pokok Kepentingan manusia : Primer (Pokok), Sekunder (Penting) dan Tertier (Pelengkap).
4. Konsentrasi dalam menjalankan tugas manusia - ‘Ibadah, Membangun Bumi, Wakil Allah di atas bumi, dan Menyeru dunia untuk bergabung dalam missi Islam’ (`IBADAH, `IMAROH, KHILAFAH, DAK`WAH).
Sebuah Missi yang tujuannya : ‘Kebenaran, Kebaikan, Etika yang Mulia’.
Metodenya : ‘Beriman, Amal Shaleh, dan Saling Berpesan untuk komitmen dalam kebenaran dan Kesabaran’. (Surat al-`Ashr 1-3).
System hukum adat

Berbicara tentang hukum Adat dibenturkan dengan permasalahan sosial masih mengandung berbagai permasalahan (problem). Beberapa problem itu antara lain: pertama, konsep hukum Adat yang selama ini dikembangkan oleh perguruan tinggi adalah konsep yang ditemukan oleh Van Vollenhoven yang tentunya sudah tidak relevan pada masa sekarang. Kedua, hukum Adat yang merupakan sumber hukum Nasional belum dilegalkan sebagai peraturan tertulis, padahal hukum dalam konteks budaya lokal (local culture) perlu dikembangkan dalam era kekinian sehingga hukum yang berlaku di masyarakat terasa lebih inhern, acceptable, dan adaptif. Ketiga, penyelesaian sengketa Adat tidak mengenal pemisahan antara pidana dan perdata. Dan keempat, pemisahan horizontal tentang hukum tanah.
Tulisan ini dengan tanpa berpretensi, tidak bermaksud untuk menjawab semua persoalan di atas. Namun hanya mengupayakan pembahasan secara sederhana tentang persoalan hukum Adat dan interrelasinya dengan perubahan sosial. Pembahasan dimulai dengan mendefinisikan hukum Adat secara ontologis dan epistemologis. Bagian kedua, menjelaskan tentang urgensi hukum Adat dalam konteks keIndonesiaan. Selanjutnya, dibicarakan tentang masyarakat dan perubahan sosial dan hubungannya dengan hukum Adat. Pembahasan ditutup dengan kesimpulan.

Hukum Adat: Kajian Ontologis dan Epistemologis
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan emosional dan ideologis.[1] Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Beberapa pendapat pakar yang lain tentang pengertian hukum Adat antara lain:
1. Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
2. Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi: a) Hukum Negara, b) Hukum Tata Usaha Negara, c) Hukum Pidana, d) Hukum Perdata, dan e) Hukum Antar Bangsa Adat.
Di masyarakat, hukum Adat nampak dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar,
2. Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
3. Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian.[2]
Urgensi Hukum Adat
1. Indonesia: Negara Multi Kultural
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, etnis, klan, agama. Hukum Adat muncul salah satunya adalah untuk menjaga dan mengakomodasi kekayaan kultural bangsa Indonesia yang semakin terpendam sehingga tetap dikenal dan menjadi elemen penting dalam perumusan hukum nasional yang adaptif dan mempunyai daya akseptabilitas yang tinggi untuk masyarakat.
2. Hukum Adat dalam Tata Hukum Nasional Indonesia
Kedudukan hukum Adat dalam konstelasi tata hukum nasional Indonesia senyampang ia tidak menghambat segera tercapainya masyarakat Sosialis Pancasila yang nota bene dari dulu sampai sekarang menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat kita, harus menjadi dasar-dasar elemen, unsur-unsur hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional kita yang baru. Hal ini terdapat pada salah satu point dalam rumusan Dasar-dasar dan Asas-asas Tata Hukum Nasional oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.
Konstruksi Hukum Adat
1. Sejarah Hukum Adat
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi ketika berbicara tentang sejarah hukum Adat, yaitu:
a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum Adat itu sendiri.
Peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra Hindu. Adat istiadat tersebut merupakan adat Melayu. Lambat laun datang di kepulauan kita ini kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli kita.
b. Sejarah hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
Sebelum zaman Kompeni–sebelum 1602–tidak diketemukan catatan ataupun tidak terdapat perhatian terhadap hukum Adat. Dalam zaman Kompeni itulah baru bangsa Asing mulai menaruh perhatian terhadap adat istiadat kita.
c. Sejarah kedudukan hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Pada periode ini, setidaknya dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) masa menjelang tahun 1848, 2) pada tahun 1848 dan seterusnya, dan 3) sejak tahun 1927, yaitu hukum Adat berganti haluan dari ‘unifikasi’ beralih ke ‘kodifikasi’.[3]
2. Faktor Yang Mempengaruhi
Di samping faktor astronomis–iklim–dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah:
a. Magis dan animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. Faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut: 1) pemujaan roh-roh leluhur, 2) percaya adanya roh-roh jahat dan baik, 3) takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan 4) dijumpainya orang-orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut.
b. Agama
1) Agama Hindu. Agama ini pada lebih kurang abad ke-8 dibawa oleh orang-orang India masuk ke Indonesia. Pengaruh terbesar agama ini terdapat di Bali meskipun pengaruh dalam hukum Adatnya sedikit sekali.
2) Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan, yaitu dalam cara melangsungkan dan memutuskan perkawinan dan juga dalam lembaga wakaf.
3) Agama Kristen. Di sini juga nampak dengan jelas, bahwa di kalangan masyarakat yang sudah memeluk agama Kristen, hukum perkawinan Kristen diresepsi dalam hukum Adatnya.
c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum Adat.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala Kuria, Nagari dan lain sebagainya.
d. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum Adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan Belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang Perdata material saja.[4]
Masyarakat dan Perubahan Sosial
1. Interaksi Sosial dan Stratifikasi Sosial
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi[5] menyatakan bahwa salah satu unsur obyek kajian sosiologi adalah proses sosial. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.[6] Berlangsungnya proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Adapun syarat-syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontrak sosial dan komunikasi.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat. Penghargaan itu akan menempatkan sesorang pada kedudukan yang lebih tinggi. Gejala ini menimbulkan adanya stratifikasi sosial (lapisan masyarakat), pembedaan masyarakat secara vertikal. Ukuran yang bisa dipakai untuk mengklasifikasi anggota masyarakat antara lain, ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Ketika pola interaksi sosial serta sistem stratifikasi masyarakat bergeser maka hukum Adat sebagai norma dasar yang lebih dekat kepada masyarakat akan berubah juga.
2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan itu dapat terjadi pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, lapisan masyarakat, lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan sosial itu terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan.
Para pakar sering mempersoalkan tentang hubungan antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebagian mengatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, karena kebudayaan mencakup semua aspek kehidupan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan, yaitu: a) jumlah penduduk yang berubah, b) penemuan baru, c) pertentangan masyarakat (conflict) dan d) terjadinya pemberontakan atau revolusi.[7]
Catatan Penutup
Sudah sekian lama pembahasan tentang hukum Adat belum diadakan pembaharuan dan reobservasi ulang. Masyarakat tidaklah statis, ia akan selalu berubah dan mengalami proses dinamisasi. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya, akan berpendapat bahwa masyarakat tersebut statis, tidak maju, dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pada pandangan yang sepintas, kurang mendalam, dan hanya berhenti pada satu titik. Karena tidak ada suatu masyarakat pun yang berhenti pada satu titik tertentu sepanjang masa. Apalagi perubahan yang terjadi di masyarakat dewasa ini berjalan normal dan menjalar dengan cepat berkat adanya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk segera dilakukan rekonstruksi dan reresearch terhadap konsep hukum Adat di Indonesia.
Wallahu a’lam bil al shawab. Semoga dapat ber(di)manfaat(kan). Amin.

DAFTAR BACAAN
Al Jaberi, M. Abid. 2000. Post Tradisonalisme Islam. Yogyakarta: LKiS.
Kimball Young dan Raymond, W. Mack. 1959. Sociology and Social Life. New York: American Book Company.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi (Suatu Pengantar). Jakarta: Rajawali Press
Wignjodipoero, Soerojo. 1989. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung.
Endnotes:
1. Al Jaberi, M. Abid. 2000. Post Tradisonalisme Islam. Yogyakarta: LkiS. hlm. 5.
2. Wignjodipoero, Soerojo. 1989. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Haji Masagung. hlm. 13-22.
3. Wignjodipoero, Soerojo. Op. Cit. hlm. 46-51.
4. Ibid. hlm. 31-35.
5. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI.
6. Kimball Young dan Raymond, W. Mack. 1959. Sociology and Social Life. New York: American Book Company. hlm. 137.
7. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi (Suatu Pengantar). Jakarta: Rajawali Press. hlm. 333-359
Sistem hukum kanonik
Salah satu karya besar para ahli hukum Romawi adalah Kitab Hukum
Justinianus.
Kita juga mengetahui bahwa pada abad kedua pemerintahan Romawi telah
berkembang ajaran Kristen. Pengaruh Kristen ini makin lama makin kuat, tidak hanya
terbatas pada aspek teologinya melainkan juga pada dimensi politiknya melalui
organisasi Gereja. Organisasi agama ini mengembangkan tradisi sendiri, termasuk ajaran
hukum baru yang disebut hukum kanonik. Sekolah-sekolah biara (skolastik) didirikan di
sejumlah tempat. Pendek kata, kekuasaan politik Gereja sangat efektif, sehingga akhirnya
(tahun 380 Masehi) berhasil memaksakan penguasa Romawi menerima Kristen sebagai
agama resmi di seluruh imperium Romawi yang telah tercobik-cabik oleh berbagai
pemberontakan itu. Demikianlah, kekuasaan Gereja ini akhirnya berhasil mendominasi
perjalanan filsafat dan ilmu-ilmu, termasuk ilmu hukum.
Periode dominasi kekuasaan Gereja dikenal dengan sebutan Abad Pertengahan, yang
kurang lebih berlangsung dari 400 Masehi–1500. Pada periode ini universitas-universitas
berdiri di berbagai kota besar di Eropa. Pembangunannya biasanya diprakarsai oleh
penguasa politik, tetapi kurikulum harus direstui oleh Gereja.
Sampai sekarang tidak jelas sejarah universitas tertua yang dibangun pada Abad
Pertenggahan. Dokumen sejarah konon telah mencatat pada tahun 433 Masehi sudah
berdiri Universitas Oxford (oleh Raja Alfred), Universitas Paris (oleh Charlemagne), dan
Universitas Bologna (oleh Theodesius II). Pada periode berikutnya berdiri universitas-
universitas lain, yang sampai tahun 1500 (akhir Abad Pertengahan) sudah berjumlah 79
buah universitas di seluruh Eropa.
Sekalipun sudah ada sejumlah perguruan tinggi, pengaruh universitas-universitas ini
tidak terlalu besar dalam menarik minat pelajar-pelajar Eropa sampai lima abad pertama.
Barulah pada Abad ke-11 dan 12, motivasi untuk belajar ini tumbuh di tiga kota
pendidikan utama di Eropa. Bagi yang berminat mendalami kedokteran, mereka menuju
ke Salerno; sementara untuk yang ingin belajar teologi, Paris-lah tempatnya; lalu untuk
yang berminat belajar hukum, mereka menuju ke Bologna.
Pengajaran hukum mulai menarik minat besar karena kondisi sosial politik di Eropa
sangat kondusif. Selepas kejayaan Romawi, negara-negara bangsa (nation states) mulai
bertumbuhan di Eropa. Penguasa negara-negara baru ini adalah penguasa politik yang
________________________________________
terbukti paling mampu mempertahankan ketertiban dan keamanan di wilayahnya. Untuk
itu penguasa tadi perlu bekerja sama dengan penguasa di daerah-daerah yang biasanya
terdiri dari kaum bangsawan setempat. Agar loyalitas kepada penguasa pusat tadi
terpelihara, kaum bangsawan ini diberi otoritas untuk membangun sistem hukum sendiri.
Dengan demikian pada saat bersamaan, di negara-negara itu terdapat berbagai sistem
yang berlaku sekaligus. Ada sistem hukum kanonik (dari Gereja) dan sistem hukum
sekular (dari penguasa pusat dan daerah). Di samping itu ada pula sistem hukum lain
yang berlaku untuk kalangan pedagang.
Pemahaman terhadap kemajemukan (pluralisme) hukum ini membutuhkan orang-
orang yang dididik secara khusus. Oleh sebab itu, para penguasa politik dan pemilik
modal tersebut lalu menyewa guru-guru untuk mengajarkan pengetahuan hukum dan
kemahiran berpikir yuridis bagi penerus kekuasaan mereka masing-masing. Makin pandai
dan menarik guru tersebut membagi pengetahuannya, maka makin tinggi bayarannya.
Salah seorang guru tersebut adalah Irnerius (nama lainnya adalah Garnerius), yang
pada awalnya mengajar di keluarga bangsawan Putri (Countess) Matilda dari Tuscany.
4
Konon sebelum itu, yakni pada usia baru sekitar 20 tahunan, Irnerius sudah berprofesi
sebagai dosen di Universitas Bologna untuk bidang didaktika dan retorika. Di keluarga
Matilda ini Irnerius diminta mengajar hukum, dan untuk itu ia memakai bahan-bahan dari
Kitab Hukum Justinianus.
Walaupun yang digunakan adalah bahan-bahan hukum Romawi yang sudah tidak
berlaku, Irnerius tetap dianggap berhasil mengambil saripati Kitab Hukum Justinianus
itu, yaitu berupa prinsip-prinsip hukum umum, yang pada gilirannya dapat diterapkan
oleh siapa saja di negara manapun. Irnerius mengajar ilmu hukum dengan pendekatan
tadi tidak hanya di Bologna, tetapi juga di Roma. Sekembali dari Roma, pada tahun 1084
ia mendirikan sekolah hukumnya sendiri, yang langsung menyedot perhatian pemuda-
pemuda dari seluruh penjuru Eropa (sampai 14.000 siswa). Metode pengajaran ala
Irnerius ini (disebut studium civile; yang berarti studi ilmiah tentang hukum [the scientific
study of law]) lalu diikuti oleh berbagai universitas di Eropa. Jadi, dapat dikatakan
Irnerius adalah orang pertama yang berhasil mendesain pengajaran hukum seperti
diajarkan oleh ilmu-ilmu modern sekarang ini.

Tidak ada komentar: