Sabtu, 17 Mei 2008

KEBANGKITAN UMAT ISLAM

KEBANGKITAN ISLAM DAN NEGARA-NEGARA KAWASAN ARAB (1/3)

Oleh: Dr. Hasan at-Turabi


media.isnet.org/islam/Bangkit/Turabi1.html - 24k


Kemudahan

Kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.

Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat kolonialisme. Kebangkitan Islam mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.

Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan Islam mengambil bentuk aktivitas sosial yang mendidik generasi muda, memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.

Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan dengan pemikiran para pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus pula melihat kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial yang luas dan kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam realitas kehidupan.

Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan, sebab disetujui atau tidak, sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.

Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab. Kebangkitan merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham. Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan Islam kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.

Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang mewakili tipe pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi keeropaan dan keislaman menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini terkadang tertuju kepada fanatisme nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.

Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan negara-negara Arab, maka sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau disintegrasi tidak dapat dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar dan keintegrasiannya, namun situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat Qatar dan integrasi dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah tenggelamnya sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh tersebut pada pembahasan mendatang.

Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya. Demikian pula kebangkitan Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu: imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan di berbagai tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas Dunia Islam dan internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam tak dapat dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.

Umat dan Negara-negara Kawasan Arab dalam Sejarah Islam

Islam menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi. Ideal-ideal ini diabstraksikan dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah. Realitas merupakan kejadian-kejadian material dan situasional yang melingkupi kehidupan manusia. Sedangkan keberagamaan adalah kepercayaan psikis terhadap doktrin-doktrin kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan merupakan upaya mendekatkan realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman dalam bentuk realitas yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus mengembangkan keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.

Bentuk negara Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara Madinah yang dipandu oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan regional, Rasulullah saw. menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun menetapkan pada akhir surat al-Anfal mengenai batasan-batasan loyalitas masyarakat yang terdiri atas penduduk asli dan imigran agar saling menjaga dan membantu.

Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan internasional. Negara ini telah melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya percaya bahwa mereka merupakan bagian dari mata rantai umat Islam sebelumnya yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun telah melampaui realitas regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik internasional dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan agama. Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu dikarenakan Arab mempunyai misi samawi.

Negara ideal berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem ini, penguasa menjadi pusat dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan. Dakwah dijalankan secara luar biasa hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru yang berjauhan dan dihuni oleh masyarakat yang plural. Dipergunakanlah ungkapan-ungkapan politik syar'i yang sebagian kembali kepada masa kenabian. Negara-negara Arab merupakan dasar pembagian wilayah pemerintahan umum, peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam potret semacam ini, kesatuan kepemimpinan khilafah dijalankan tanpa pembagian kekuasaan. Di samping itu, terdapat kesatuan geografis Islam yang semula tidak mengenal kendala-kendala internal.

Meski terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme wilayah, etnis, dan golongan --setelah terjadi sistem pewarisan khilafah-- namun pola umum negara masih tetap berpedoman pada sistem kesatuan (integrasi). Para fuqaha yang juga merupakan para pemimpin bangsa dan idola masyarakat. Meskipun bersikap wajar terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap mentolerir pembagian wilayah dan upaya integrasi. Sedangkan dalam hal pemikiran, mereka mengakui eksistensi mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.

Pola ini berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan oleh masyarakat muslim dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi pluralitas masyarakat dan kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi dengan usaha-usaha integrasi, maka khalifah pada gilirannya hanya menjadi simbol dan hanya mampu bertahan ketika kekuatan pusat pemerintahan semakin menurun. Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme kelompok bermunculan, dan wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru dalam realitas politik umat Islam.

Pola yang meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu bentuk pemerintahan dengan kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan politik karena tersebar luasnya negara-negara Islam. Sebagian negara Islam mengalami perkembangan karena kemampuannya membuka diri untuk menyelesaikan masalah-masalah yang yang ditimbulkan akibat letak wilayah yang jauh dari pusat.

Pemerintahan Islam telah memelopori bahwa batasan-batasan regional tidak membagi-bagi kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa-penguasa politik. Hanya ada satu lapangan ilmiah, pasar ekonomi, dan konteks kebangsaan. Kesatuan undang-undang juga menjaga dominasi hukum-hukum syariat sehingga berkembanglah mazhab-mazhab fikih dan metode-metode tasawuf untuk menegaskan kesatuan umat dalam paguyuban tarekat. Suatu prediksi dapat dikemukakan bahwa wilayah Islam akan semakin menyatu secara peradaban melalui tersebarnya berbagai mazhab dan tarekat, pertukaran ilmu dan kebudayaan, dan komunikasi melalui migrasi manusia, ilmu, dan agama. Hal itu terjadi dalam kurun waktu yang panjang pasca runtuhnya pusat politik dan kediktatoran para penguasa di negara-negara Arab. Islam, pemanduan syariat, dan terbukanya kawasan merupakan faktor-faktor penjaga kesatuan umat.

Ketika Islam tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar umat, dihapuskannya syariat, dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab pun terpecah belah. Tak ada yang tersisa dari wilayah Islam kecuali hanya persaudaraan dalam jiwa kaum muslimin, kegetiran masa lampau, dan mimpi masa depan.

Umat dan Negara-negara Kawasan Eropa: Sebuah Studi Komparasi

Perkembangan negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya mereka dari agamanya, konflik berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan, dan terlampau beratnya penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi Islam menjanjikan kehidupan baru bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa kejatuhan tersebut bukan disebabkan oleh kelengahan, melainkan karena mengingkari dasar-dasar agama mereka. Jika cita-cita kebangkitan kaum muslimin diilhami oleh Kitab Suci yang terjaga (Al-Qur'an), maka masyarakat Barat menoreh sejarah mereka dengan revolusi anti-agama.

Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama lebih dari sepuluh abad. Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh ideal tentang nasionalisme dan peradaban bagi dunia internasional. Dalam pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran imperium dan hubungan harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa. Kemudian nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.

Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya teori-teori kekuasaan yang memberi penekanan pada dominasi absolut dalam batas-batas regional seperti teori Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada propaganda-propaganda imperium, Paus, dan kaum feodal. Teori-teori sosial itu mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara absolut.

Kemudian pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan dominasi bangsa dan ide liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai John Locke, para pakar psikologi sesudahnya, dan kelompok radikal), kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori Rousseau), pelestarian sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori Karl Marx).

Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk politik, ekonomi, dan solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah perasaan khusus nasionalisme serta kekhususan bahasa dan tata bahasanya. Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan kekhususan-kekhususan tersebut dengan berbagai utopia dan data. Nasionalisme membanggakan hal tersebut. Isme ini tumbuh di benua Eropa dan Amerika.

Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan material, namun akhirnya Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara semacam ini. Mungkin kegamangan tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan yang plural, perkembangan teori kemanusiaan, berbagai konflik nasional, dan terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-negara Eropa di atas kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan yang terbatas, namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati kaum muslimin di kawasan Daulah Islamiah.

Kesatuan Eksternal Menuju Pluralisme Internal di Dunia Arab

Kawasan negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan administratif kekhalifahan Utsmani. Pada umumnya, negara-negara tersebut memisahkan diri karena pengaruh kemerdekaan politik negara-negara imperialis. Pemisahan perdana merupakan sarana munculnya nasionalisme Arab, sebab hal itu merupakan bentuk pemerdekaan dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi nasionalisme. Fenomena tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa, sebab ia bukan hasil perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang terjadi di Eropa. Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan eksperimen dan faktor-faktor Eropa.

Eksperimen yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas orang-orang Nasrani Arab berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa. Masyarakat Barat meyakini eksperimen Eropa sebagai eksperimen murni dan memandang dirinya sebagai pusat kebangkitan dan contoh ideal pencerahan umat manusia.

Padahal yang harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam menghadapi kekhilafahan Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan propaganda, hubungan politik, dan diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu, terjadi perang intelektual antar keduanya. Walaupun sebenarnya persatuan umat Islam dalam kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi tidak mencapai prestasi nasionalisme Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-masing.

Sekiranya Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas landasan nasionalisme, tentu ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan kekhilafahan Utsmani, berdirilah imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya imperialisme membagi-bagi pengaruh dan batas-batas wilayah Arab berdasarkan realitas regional historis masing-masing wilayah yang sebelumnya bersatu. Imperialisme telah mengokohkan status pembagian tersebut untuk menarik keuntungan jangka pendek dan panjang, apalagi mereka bermaksud melapangkan jalan bagi kehadiran Zionisme di tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan hubungan Arab dengan Dunia Islam.

Ketika bangkit keinginan melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme, gerakan pembebasan Arab segera memisahkan diri dari kelompok-kelompok yang terpengaruh kebudayaan Eropa. Kelompok-kelompok nasional gigih memperjuangkan tercapainya kemerdekaan bagi negara yang mandiri, tetapi dengan konsep-konsep Eropa.

Masyarakat merasa perlu mengedepankan warisan keagamaannya untuk mengisi kesenjangan dan memfungsikan simbol-simbol keagamaan untuk membangkitkan semangat melawan kekuatan asing yang kafir. Dalam konteks ini, Islam merupakan unsur pembentuk jati diri negara dan pemantik semangat kebangsaan. Sangat memungkinkan untuk menggunakan faktor kekuatan Islam itu bila perjuangan menemui jalan buntu. Seluruh wilayah Afrika Utara adalah contoh terbaik dari kasus ini, apalagi perjuangan kaum muslimin Aljazair melawan imperialisme Perancis. Gema Islam pun terdengar hingga di Sudan, meskipun kontrol Arab-Islam di negara ini melemah.

Peran Islam dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar negara-negara Arab, termasuk di negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan, dan Pakistan. Peran ini tampak pada syiar yang ditonjolkan pasca-kemerdekaan. Akan tetapi, meski masyarakat muslim berkuah darah dalam perjuangan nasional, tetapi yang menikmati kue kemerdekaan adalah para nasionalis, sedangkan orang-orang Islam hanya menjadi penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan kini tinggal kenangan. Itulah sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam mempengaruhi proses integrasi negara-negara Arab yang mandiri.

Meskipun kelompok pembebasan nasional di Dunia Arab berpedoman sekularisme dalam pembangunan negara, tetapi upaya tersebut tidak sukses sebagaimana keberhasilan Turki Muda mendepak sistem kekhalifahan. Mereka hanya berhasil mendirikan dasar-dasar negara nasional dan mempersoalkan integrasi. Konsep negara sekular semakin mendorong negara-negara Arab untuk meninggalkan sistem syariat dan mengembangkan sistem perundang-undangan yang tidak berdasarkan Islam. Sebagai contoh adalah Hizbul-Wafd (Partai Wafd) dan Hizbud-Dustuuri (Partai Perundang-undangan) di Tunisia.

Sebagian negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi. Negara-negara tersebut tidak mungkin berdiri dengan batas-batasnya sendiri kecuali dengan desakan imperialisme atau situasi sejarah.

Walau negara-negara Arab memupuk fanatisme dan nasionalisme --bukan solidaritas kawasan-- namun hal tersebut tidak sampai memutuskan hubungan antar bangsa seperti di Eropa. Sejarah Arab kontemporer mencatat adanya berbagai ikhtiar untuk berintegrasi yang tak menyerupai bentuk integrasi apa pun di muka bumi, sebab negara-negara Arab mengupayakan integrasi dengan nasionalisme dan agamanya. Libya berusaha berintegrasi dengan lima negara Arab, serta Mesir dan Suriah masing-masing dengan empat negara. Tidak ada negara Arab yang tidak berusaha untuk berintegrasi, meskipun kenyataannya mereka masih terpecah-pecah.






(sebelum)

ANTARA MODERAT DAN EKSTREM (2/2)

Oleh: Syekh Muhammad al-Ghazali



Rasulullah saw. mengingatkan kita bahwa kelompok ini biasanya panjang shalatnya, tetapi ibadahnya itu tidak menyucikan dan menyembuhkan cela jiwanya.

Dalam perang Ushrah, Rasulullah saw. menanyakan Ka'ab bin Malik, "Mengapa dia tidak ikut serta?" Tiba-tiba seorang menuduhnya dengan melontarkan ungkapan yang bernada merendahkan dan menyiratkan dendam. Memang Ka'ab adalah salah satu dari tiga orang yang mangkir, namun Allah telah memaafkan dan mengampuninya. Ketika terjadi peristiwa Ka'ab, datanglah sepucuk surat dari raja Romawi yang meminta agar Ka'ab meninggalkan Madinah. Penjemputan akan dilakukan dengan penghormatan oleh staf raja. Akan tetapi, Ka'ab menganggapnya sebagai ujian sehingga ia membakar surat tersebut. Sebenarnya dalam kasus ini, keutamaan tertinggi telah diberikan, namun ada orang yang melihatnya dengan benci. Sikap ini menutup semua kebaikan dan meluapkan emosi.

Pada zaman Rasulullah, ada pula seseorang yang banyak berbicara sehingga digelari "si mulut besar." Setiap Rasulullah saw. berbicara, ia berusaha menimpali agar dapat melebihi pembicaraan Rasulullah.

Dewasa ini, betapa sering kita saksikan orang-orang yang berbicara mengenai agama secara serampangan. Pembicaraannya tidak menghasilkan apa-apa kecuali senda gurau dan kesia-siaan belaka. Padahal betapapun baiknya suatu nasihat, ia tidak akan bermanfaat tanpa niat yang baik pula.

Hasan al-Bashri pernah mendengar sebuah nasihat yang amat jelas uraiannya, namun sedikit pun ia tak tersentuh. Ini karena uraian itu tidak memenuhi syarat sebagai nasihat yang baik dipandang dari segi ketulusan dan kesungguhan, karena komunikatornya mempunyai cela psikis.

Cela psikis dapat ditemui pada banyak orang, baik di kalangan para pemeluk agama maupun orang-orang atheis. Para pakar pendidikan berpendapat bahwa cela ini merupakan sifat materialistik yang amat berbahaya.

Telah umum diketahui bahwa maksiat hati lebih berbahaya daripada maksiat anggota tubuh. Kesombongan lebih buruk daripada mabuk, meskipun Allah mensyariatkan hukuman langsung kepada orang yang mabuk dan menangguhkan siksaan bagi orang yang sombong di akhirat kelak.

Rahasia di balik ketetapan tersebut adalah bahwa mabuk biasanya hanya memudharatkan si peminum dengan merusak hati dan akalnya, sedangkan orang yang sombong dapat melakukan kejahatan yang lebih keji dengan ruang lingkup yang lebih luas. Misalnya menzalimi orang-orang lemah.

Janganlah kita mengira bahwa wujud kesombongan itu hanya dengan mendongakkan kepala atau memantap-mantapkan langkah. Kesombongan dapat pula berupa penolakan terhadap kebenaran dan meremehkan orang lain atau mencari pengakuan masyarakat. Lihatlah sikap orang yang dirundung penyakit psikis ini, mereka menerima kebenaran sebagai kebatilan dan sebaliknya.

Nabi Musa a.s. menegaskan kepada Fir'aun, sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur'an,

"Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku." (al-A'raaf: 105)

Al-Qur'an menyitir jawaban Fir'aun terhadap penegasan Nabi Musa a.s., sebagai berikut.

"Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai, bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu." (al-A'raaf 109-110)

Tak hanya itu, Fir'aun pun mengancam orang-orang yang mengikuti dan mempercayai kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. sebagaimana tertera di dalam Al-Qur'an,

"Apakah kamu beriman kepadanya sebelum aku memberi izin kepadamu?" (al-A'raaf: 123)

Demikianlah, dari dulu hingga sekarang, selalu ada orang-orang yang menyeleweng, termasuk sebagian penguasa. Mereka adalah malapetaka bagi umatnya dan mendorong terbunuhnya ribuan manusia lemah sebagai tebusan bagi reputasi individualnya. Mereka mengklaim diri "Negara adalah aku" (l'etat chest moi).

Anarki politik merupakan lahan subur bagi pertumbuhan Fir'aunisme. Amat disayangkan, Fir'aunisme di Timur lebih banyak ditemui ketimbang di Barat. Fir'aunisme ini merupakan batu sandungan terbesar bagi perkembangan bangsa-bangsa mana pun. Ini karena rahasia penyebaran sifat-sifat jahat, baik kecil ataupun besar, berada di tangan isme ini.

Ketika meneliti berbagai penyelewengan di kalangan para pemeluk agama, penulis menemukan corak Fir'aunisme ini pada sejumlah aliran yang telah dihancurkan dan dipersempit ruang geraknya. Sebagian pemikiran tersebut berkembang dari balik terali besi ketika situasi kondisi sosial-politik sangat buruk dan menyiksa umat Islam.

Apakah dengan bahasan ini penulis membela ekstremitas keagamaan? Tidak! Ulama mana yang dapat membiarkan pembelotan pemikiran dan penyelewengan psikis?

Menurut penulis, para pemuda yang ekstrem itu telah mengalami distorsi temperamen. Ini karena bila kita mempunyai visi yang jauh dan misi yang suci, tentu kita akan memilih yang lebih ringan di antara dua pilihan, selama tidak melanggar syariat. Akan tetapi sebaliknya, pemuda-pemuda itu memilih yang paling sulit!

Islam mengutamakan pembuktian dan menomorduakan kekerasan. Tidak ada yang memilih metode kekerasan kecuali orang-orang yang keras. Para pemuda tersebut pernah diperlakukan dengan keras (terutama oleh penguasa yang anti-Islam, --peny.), maka mereka pun terbiasa dengan kekerasan. Gambaran yang senantiasa terbayang di depan matanya adalah senapan!

Di kalangan umat, ada kelompok yang minim pengetahuan keislamannya. Pengetahuan itu hanya mereka peroleh dari buku-buku yang tidak mengikuti garis pemikiran Islam yang benar dan pendapat-pendapat yang kuat dari para fuqaha.

Mereka mengutamakan hadits-hadits dha'if dan memahami khabar yang sahih secara tidak proporsional. Mereka berpikir secara irasional dan bertentangan dengan empat imam mazhab (Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafi'i). Bahkan karena kebekuan pola pikir, mereka menolak perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis pernah mendengar sebagian mereka menyerang teori bahwa bumi itu bulat dan berotasi. Menurut anggapan mereka, antitesis tersebut didasarkan atas pemikiran Ibnu Qayyim!

Apakah kelompok ekstrem ini mempunyai hubungan spiritual dan intelektual dengan golongan Khawarij? Tampaknya berbeda. Ini karena seperti yang dikatakan oleh hakim Walid dari pemerintahan Khalifah Rasyid, Khawarij mempunyai pandangan positif terhadap syura (musyawarah) dan memiliki sikap moral yang bersih.

Kekacauan politik jangan dijadikan alasan untuk membolehkan penyelewengan akidah dan ketidaklurusan fikih. Islam bukanlah agama yang menutup-nutupi penyimpangan. Islam justru membersihkan dan melawan penyimpangan. Menurut pengalaman penulis, agama merupakan pendorong untuk melakukan berbagai kebajikan.

Para pelaku penyimpangan biasanya menyembunyikan penyakit-penyakit psikisnya dengan rakaat-rakaat yang dilakukannya. Mereka selalu berpikir negatif terhadap orang lain. Benaknya dipenuhi dengan menyalahkan orang lain, bukan pengampunan. Mereka tahu bahwa cabang-cabang Islam tujuh puluh lebih, tetapi mereka tidak bisa membedakan kepala dengan ekor, tidak membedakan fardlu dengan nafilah, dan pelaksanaan yang mereka ketahui hanyalah yang mereka tetapkan.

Melebih-lebihkan dan Mengurangi

Pada dasarnya, perbedaan pendapat dalam fikih tidak boleh memperlemah ukhuwah islamiyah dan menimbulkan percekcokan. Akan tetapi, kelompok ekstrem berkecenderungan membesar-besarkan masalah kecil dan memicu konflik dari hal-hal yang tidak prinsipil.

Perbedaan pendapat merupakan perangkat ilmiah yang signifikan bila diarahkan dengan baik. Sayangnya, di balik perbedaan pendapat, kelompok ekstrem mengidap cacat psikis yang seharusnya dihilangkan.

Seseorang dari kelompok ekstrem pernah melayangkan surat kepada penulis. Isi suratnya antara lain menyebutkan bahwa pada masa awal Islam, dakwah mendahului perang Akan tetapi kemudian, menurutnya, ketentuan itu dihapus sehingga menjadi: perang bisa saja dilancarkan tanpa didahului kegiatan dakwah! Penulis surat ini telah mengajukan pandangan yang tidak ilmiah. Surat itu memang mencerminkan semangat penulisnya, namun sayangnya, sang penulis menghendaki jalan pintas dan menyerang ke segala penjuru atas nama agama. Religiusitas yang tidak disertai ketulusan hati, kehalusan budi pekerti, dan kecintaan terhadap sesama makhluk, malah akan menjadi laknat bagi negara dan manusia.

Ekstremitas tidak terjadi pada kondisi sosial yang mapan. Penyimpangan psikologis tersebut terjadi pada masa krisis pandangan, ketika masalah khilafiyah dibesar-besarkan. Misalnya, posisi tangan dan kaki dalam shalat.

Perhatian mereka terhadap masalah-masalah khilafiyah sangat berlebihan. Hanya sedikit perhatian mereka terhadap pembangunan negara Islam yang ideal atau berusaha mempersiapkan hal-hal yang diperlukan bagi kemajuan peradaban Islam di masa depan.

Kelemahan lain yang lebih berbahaya adalah mereka terlampau cepat menuduh pelaku dosa sebagai kafir atau fasik. Pernah terjadi perdebatan sengit mengenai muslim yang meninggalkan shalat karena malas. Mereka memvonisnya sebagai orang kafir, harus dibunuh, dan masuk neraka selama-lamanya.

Penulis menerangkan kepada mereka, "Muslim yang meninggalkan shalat memang berdosa, tetapi hukum yang kalian sebutkan itu berlaku bagi muslim yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajiban syar'i. Ini karena mengingkari kewajiban dalam syariat berarti keluar dari Islam. Sedangkan orang-orang yang malas melakukan shalat masih tetap mengakui dasar pensyariatannya."

Tetap saja mereka menegaskan, "Wajib dibunuh."

Penulis kembali mengingatkan, "Mengapa kalian melupakan hadits Nabi saw. yang menjelaskan bahwa bila Allah SWT menghendaki, Ia akan menyiksa atau memaafkan seorang muslim yang malas menunaikan ajaran Islam."

Selama dosa yang diperbuat manusia tidak termasuk dosa syirik, insya Allah, Dia berkenan mengampuninya. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas umat Islam. Sebagian mazhab bahkan menyatakan bahwa muslim yang malas menunaikan ketaatan jangan dibunuh.

Kita harus bersikap lemah lembut dan memberikan nasihat yang baik kepada-Nya. Hendaknya kita menuntunnya ke masjid untuk membiasakannya beribadah, bukan menggiringnya ke tiang gantungan. Akan tetapi amat disesalkan, umat muslim yang ekstrem senantiasa mengeluarkan pernyataan bunuh, dan menurut mereka itulah satu-satunya Islam yang benar.

Hal lain yang sering mereka perhatikan secara berlebihan adalah masalah wanita. Menurut mereka, wanita wajib menutup seluruh tubuh hingga ke kuku sekalipun, baik dalam ibadah maupun di luar ibadah, seperti keluar rumah untuk suatu keperluan yang sangat mendesak. Bagi mereka, kuku pun termasuk aurat. Kaum pria dan wanita tidak boleh saling mengetahui sedikit pun!

Memang, diantara kelompok ekstrem itu ada yang benar-benar berniat baik dan berkeinginan memperoleh ridha Allah. Akan tetapi, kekurangannya adalah kedangkalan pengetahuan dan pemahaman keislamannya. Andaikan mereka berwawasan luas, tentu semangat dan komitmen mereka akan sangat bermanfaat bagi Islam.

Pernah terjadi di sebuah desa, seorang lurah menulis dan mengirimkan sepucuk surat kepada imam sebuah masjid. Surat itu menerangkan kedatangan seorang penyuluh pertanian ke desa mereka. Karenanya, masyarakat diminta berkumpul untuk menyimak penyuluhan tersebut.

Ketika imam hendak berbicara dengan menggunakan pengeras suara, seorang pelajar berkata, "Nabi saw. melarang kita mencari barang yang hilang di dalam masjid." Dia berkata lagi "Sesungguhnya shalat didirikan hanya untuk Allah (maksud pemuda ini, masjid hanya digunakan untuk ibadah ritual saja -peny.)." Ia berusaha mencegah imam mengambil pengeras suara. Pertengkaran memuncak. Maka si pelajar berteriak, "Mikrofon ini tidak akan bisa diambil kecuali setelah melangkahi mayat saya!"

Sesungguhnya analogi yang dibuat sang pelajar antara penyuluhan pertanian dengan mencari unta yang hilang adalah analogi yang tidak tepat. Tidak perlu mempertaruhkan nyawa untuk masalah semacam ini.

Para pendidik dan pemimpin hendaknya menyikapi para pemuda yang bersikap ekstrem dengan penuh kearifan. Merupakan suatu keharusan untuk meminta bantuan para ulama yang peka dan independen untuk membina mereka. Ini karena mereka enggan berkolusi, apalagi dibina, oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Wallahu a'lam bishshawab.







(sesudah)

ANALISIS UNSUR-UNSUR PEMBENTUK FENOMENA ISLAM DI TUNISIA

Oleh: Prof. Rasyid al-Ghanusi




BANYAK pengamat yang menujukkan pandangannya pada gerakan Islam di Tunisia, khususnya gerakan yang memainkan peranan aktif bersama masyarakat Tunisia. Para pengamat tersebut mulai menginterpretasikan berbagai kelompok gerakan Islam. Sebagian kelompok itu bergerak di seputar tesis yang dibawa para islamolog yang dinilai tidak orisinal karena materi yang mereka sajikan serta klaim terhadap mereka sebagai agen politik. Setiap saat mereka mengenakan busana politik dan memperdagangkan trend-trend pemikiran umum dengan posisi-posisi situasional.

Mungkin para pengamat telah terjebak dalam interpretasi ala Abdul Baqi al-Harmasy yang menyimpang dari metode ilmiah dalam penelitian fenomena sosial. Bila mereka mengikuti interpretasi tersebut, mereka tentu akan sampai pada kesimpulan yang serupa dengan al-Harmasy, atau paling tidak mendekatinya, sebagaimana terdapat dalam studinya yang spektakuler, al-Islam al-Ihtijaaji bi Tunis.

Kepentingan penulis adalah menjelaskan fenomena Islam di Tunisia dari perspektif yang berbeda. Penulis memandang fenomena ini dari sudut akar-akar pemikiran yang melandasi terbentuknya fenomena Islam di Tunisia. Barangkali pendekatan ini akan menambah alternatif baru yang turut membantu para pengamat dalam menginterpretasikan pergolakan Islam di Tunisia dalam merespon tuntutan ruang dan waktu.

Fenomena Islam yang Kompleks

Meskipun ada anggapan mengenai keseragaman di antara berbagai macam aktivitas keislaman dari sisi kesamaan tujuan akhir, yaitu menghidupkan Islam, masyarakat, dan hukumnya, namun sebenarnya anggapan itu tidak tepat. Menurut penulis, fenomena Islam di Tunisia merupakan jalinan produk dari pergumulan dan dinamika antar tiga unsur gerakan Islam. Pergumulan ini bukanlah hal yang sederhana dan pengaruh masing-masing tidak mesti selalu sama. Pergumulan ini amat berat dan berbagai konflik --baik yang muncul maupun yang tersembunyi dan yang disadari maupun tidak-- selalu ada. Tiga unsur dimaksud adalah corak keislaman tradisional, keislaman salafi (revivalis), dan keislaman rasional.

1. Keislaman Tradisional

Keislaman tradisional di Tunisia terbentuk dari tiga elemen, yaitu: taklid dalam bidang fikih pada mazhab Maliki, teologi Asy'ariyah! dan pendidikan sufisme. Elemen-elemen tersebut disusun oleh Ibnu 'Aasyir, seorang faqih mazhab Maliki, dari bahan-bahan teologi Asy'ari, fiqih Imam Malik, dan tarekat Junaid al-Baghdadi.

2. Keislaman Revivalistik

Keislaman revivalistik (salafi) al-Ikhwani muncul di belahan negara-negara Timur berkat penyatuan elemen-elemen: metodologi revivalisme, pemikiran sosiopolitik, metode pedagogik, dan metode pemikiran.

Metodologi revivalisme dibangun di atas penolakan terhadap taklid mazhab fikih dan teologi serta bertujuan mengembalikan segala permasalahan pada sumber Islam: Al-Qur'an dan As-Sunnah, kehidupan Khulafa'ur-Rasyidin, para sahabat, dan tabi'in. Tujuan yang lain adalah memerangi paham wasilah (perantara) hubungan manusia dengan Allah dan bid'ah-bid'ah serta mengutamakan nash agama daripada rasio.

Pemikiran sosiopolitik ala al-Ikhwan al-Muslimun yang didasarkan atas keyakinan tentang kekomprehensifan Islam, kekuasaan (mutlak) di tangan Allah, dan pengkafiran sistem yang menolak doktrin ini.

Metode pedagogik menekankan aspek ketakwaan, penyerahan diri pada Allah, berzikir, berjihad, kebersamaan dalam jamaah, peningkatan iman, ukhuwah islamiyah, mengurangi kecintaan pada dunia, dan memperhatikan hal-hal sunnah sampai yang sekecil-kecilnya.

Metode pemikiran yang mengutamakan dimensi akidah-akhlak sedemikian rupa hingga menggolongkan manusia menjadi saudara dan musuh. Metode ini juga menolak realitas dan kebudayaan nonislami bahkan terhadap aliran-aliran pemikiran Islam yang lain sekalipun. Hal ini hampir membentuk sistem yang eksklusif.

3. Keislaman Rasional

Meskipun keislaman rasional belum mengekspesikan diri secara jelas, namun keberadaannya mulai tampak pada paruh kedua 1970-an. Sebenarnya corak keislaman ini telah ada lama sebelumnya tanpa disadari. Pada paruh pertama 1970-an, keislaman rasional telah disapu oleh gelombang keislaman salafi al-Ikhwan al-Muslimun. Pada akhir 1970-an dan 1980-an, situasi memungkinkan keislaman rasional untuk tampil kembali. Keislaman rasional terdiri atas beberapa elemen sebagai berikut.

Pertama, khazanah pemikiran Islam rasional yang dihadirkan kembali di alam kehidupan modern dewasa ini. Maka pemikiran Islam rasional Mu'tazilah kembali dimunculkan dengan gagasan-gagasannya mengenai kebebasan manusia, tauhid, keadilan, dan kemanusiaan. Selain itu, corak keislaman rasional pun membangun kembali semangat aliran-aliran oposan dalam sejarah politik Islam, seperti Khawarij, Syi'ah, dan aliran-aliran yang menentang kelompok Salafiah dan Ahlu Sunnah.

Kedua, kritik fundamental dan tajam terhadap pemahaman al-Ikhwan al-Muslimun dan sejenisnya terhadap Islam dalam kapasitasnya sebagai pendukung gerakan Salafiah dewasa ini. Keislaman rasional melihat al-Ikhwan al-Muslimun sebagai hambatan bagi perjalanan kebangkitan Islam.

Ketiga, mengadakan re-evaluasi terhadap aliran pembaruan yang diupayakan al-Ikhwan al-Muslimun dan buku-buku populer mereka yang menilai penafsiran keislaman rasional sebagai penyimpangan. Untuk pertama kali, kritik-kritik itu dilontarkan oleh sejumlah tokoh yang menguasai peradaban kontemporer, seperti: Muhammad Abduh, al-Kawakibi, Jamaluddin al-Afgani, Thanthawi, dan Qasim Amin.

Keempat, menerapkan pemahaman maknawi terhadap Islam dan menghindari pemahaman tekstual. Nash-nash harus dipahami dan ditakwilkan dalam perspektif tujuan yang tersembunyi di balik teks, yaitu: keadilan, tauhid, kebebasan, dan kemanusiaan.1 Nash-nash hadits dinilai kesahihan dan kedhaifannya bukan berdasarkan metode para pakar hadits dalam mentahkik riwayat, melainkan berdasarkan sesuai tidaknya dengan tujuan nash (al-Maqaashid).

Kelima, mengadakan evaluasi terhadap Barat-Kiri. Berbeda dengan al-Ikhwan al-Muslimun yang menilai Barat sebagai peradaban materialistik yang berada di ambang kehancuran sehingga tak ada yang dapat dimanfaatkan oleh Islam kecuali sains dan teknologinya an sich, maka kelompok Islam rasional memandang perlu untuk memanfaatkan sistem, kebudayaan, maupun ilmu-ilmu kemanusiaan Barat.

Keenam, sebagai lawan sikap keberagamaan al-Ikhwan al-Muslimun yang cenderung memandang manusia secara teologis, yakni mukmin dan kafir, keislaman rasional melihat manusia secara empiris atas dasar sosial-politik, yaitu nasionalis dan oposan, revolusioner dan konservatif, serta petani dan tuan tanah. Dalam perspektif kelompok ini, seseorang sangat mungkin menjadi Muslim-Marxis-Nasionalis.2

Ketujuh, mengevaluasi aliran pembaruan di Tunisia dengan membawakan ide-ide kontroversial seperti pembebasan kaum wanita dan rasionalisasi pendidikan.

Penulis mengatakan bahwa aliran Islam rasional belum menampakkan diri pada paruh pertama 1970-an, kecuali ketika terjadi berbagai ketegangan dan ketidakpuasan terhadap realitas gerakan Islam. Bahkan kelompok Islam rasional lebih banyak mempertahankan diri dari dominasi kelompok salafi-Ikhwan. Situasi perpolitikan paruh kedua 1970-an memberikan angin segar kepada kelompok ini untuk membawakan ide-ide pembaruannya melalui majalah al-Ma'rifah. Majalah ini didukung oleh literatur-literatur Barat karena lemahnya materi keagamaan di Tunisia pada umumnya setelah ditutupnya Universitas Zaituniyah. Angin segar itulah yang turut memainkan peranan dalam membangkitkan iklim rasionalisme yang pada gilirannya membentuk pola keislaman rasional.

Tidak diragukan bahwa pola keberagamaan ini tidak mengalami perkembangan dalam bentuk yang penulis kemukakan kecuali setelah akhir 1970-an.

Proses Pembentukan

Pertemuan aliran-aliran pemikiran ini tidak mungkin terjadi pada komunitas Islam di Tunisia tanpa melalui proses interaksi dan adaptasi di antara mereka, disadari atau tidak. Bagaimana pertemuan itu terjadi dan apa hasilnya? Kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan ini pada pembahasan selanjutnya.

Pola keislaman di Tunisia tetap mempertahankan mazhab Maliki dan teologi Asy'ari pada batas-batas tertentu, serta melestarikan tradisi-tradisi keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi saw. dan pembacaan syair-syair sufistik yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Akan tetapi kemudian, pola keislaman di negeri ini berhadapan dengan gelombang kritik kelompok salaf yang berusaha melenyapkan tradisi-tradisi tersebut dan bid'ah serta menawarkan konsep-konsep Islam yang murni, komprehensif, dan dasar-dasar pemerintahan Islam. Hal ini tidak asing dalam tradisi mazhab ushul Maliki.

Meskipun kelompok salaf tetap mempertahankan serangan mereka terhadap khurafat dan taklid buta dalam kehidupan ber-Islam di Tunisia, selain menyeru umat agar kembali ke sumber asal Islam, tetapi pada perkembangan berikutnya kelompok ini melunak ketika menghadapi realitas dan khawatir semakin dijauhi masyarakat. Wajar jika kemudian mereka melunakkan kritik-kritik terhadap taklid, para syekh tarekat, dan metode-metode sufisme termasuk tawassul kepada Rasulullah saw..

Kecenderungan pemikiran rasional lahir dalam situasi kritis. Sejak semula, mereka tidak puas terhadap pemikiran-pemikiran yang dominan, simbol-simbol, praktek-praktek dan bermacam-macam cara beragama. Maka reaksi keras dan respon terhadap realitas itu yang kemudian melahirkan corak keislaman yang diliputi oleh ketegangan karena kelompok dominan tidak membedakan secara arif dan rasional antara aspek yang harus dihancurkan dan yang harus dilestarikan, serta antara yang harus dihancurkan sekarang dan yang dapat ditunda.

Akan tetapi, apa yang terjadi? Tanpa dipikirkan matang-matang dan tanpa mengetahui secara pasti peranan gerakan ortodoks dalam kebangkitan dan pembaruan di Timur atau modernisasi di Barat, diseranglah kelompok ortodoks dan tradisional ini.3 Serangan berikutnya berkembang menjadi kritik secara menyeluruh terhadap Ahlu Sunnah yang diharapkan dapat melancarkan proses pembentukan simbol-simbol keislaman yang rasional pada era mendekati dasawarsa 1980an. Proses tersebut tidak berhasil, dan kelompok Islam rasional hanya berwujud gerakan sempalan yang mengekspresikan dirinya dalam bentuk Kiri-Islam. Kemudian mereka memilih para ahli keislaman (islamolog) yang berpikiran maju.

Upaya ini tidak mampu mencegah pergumulan di kalangan al-Jamaah al-Islamiyah yang berhasil menarik lebih banyak pakar keislaman di Tunisia. Pada pertengahan 1981, kelompok ini mengeluarkan pernyataan untuk mengadakan penertiban politik dengan nama Gerakan Islami, sehingga pergumulan pemikiran Islam terus berlangsung di antara ketiga aliran. Ditinjau dari perspektif keorganisasian, pergumulan tersebut mengungkapkan adanya krisis tersembunyi ataupun terang-terangan.

Corak keislaman ala al-Ikhwan al-Muslimun merupakan unsur terkuat dibandingkan kedua unsur lainnya. Sedangkan kelompok Islam rasional mempunyai peranan penting dalam melancarkan kritik yang terus berkembang dalam gerakan Islam.

Organisasi-organisasi keislaman tradisional mempertahankan diri dengan simbol-simbol mereka ketika berhadapan dengan serangan kelompok salafi. Berbagai kritik ditujukan kepada metode pemikiran dan strategi dakwah kelompok tradisional. Islam tradisional menekankan melalui petunjukpetunjuk pemimpin dan organisasi untuk menghindari benturan dengan mazhab dan tasawuf. Bahkan lebih jauh, mereka berpikir untuk membakukan mazhab Maliki sebagai pegangan. Meskipun ajakan untuk merujuk pada mazhab Maliki tidak menjadi keputusan formal, namun sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa keislaman tradisional telah menjerumuskan diri pada peran pinggiran.

Belum lagi menginjak dasawarsa 1970-an, mayoritas aktivis gerakan telah meninggalkan masalah ini. Mereka juga memutuskan diri dari gerakan dan sebagian lainnya meninggalkan praktek-praktek ibadah lama seperti tawassul dan tasawuf. Bahkan mereka mulai menjaga jarak dari para syekh tarekat dan sufi. Sebagai gantinya, diadakanlah pertemuan-pertemuan di antara mereka yang melepaskan diri dari keislaman salafi. Sebagai referensi, mereka menekuni kitab-kitab Syekh Nashiruddin al-Albani dan Jabir al-Jazairi.

Gerakan ini tumbuh dalam pengaruh keislaman rasional. Semakin menjamurlah gerakan-gerakan mahasiswa di akhir 1970-an. Mereka memosisikan dirinya dalam arus utama (mainstream) pergumulan ideologi dan politik yang berobsesi memajukan Islam bukan sebagai gerakan dakwah, melainkan sebagai pemikiran ideologi internasional. Seiring dengan dinamika sosial, mereka pun berkembang pesat melalui kerja sama dengan al-Ikhwan al-Muslimun. Akan tetapi, kemudian mereka memandang al-Ikhwan al-Muslimun sebagai eksperimen dan bukan alternatif, ia merupakan ijtihad islami, tetapi bukanlah Islam itu sendiri.

Dinamika sosial-politik ternyata berdampak besar dalam memandang realitas sebagai ganti pandangan teologis yang senantiasa melihat masyarakat dari kacamata agama. Interaksi pemikiran dengan kelompok oposisi dan pengkajian ulang terhadap problema-problema sosial --seperti masalah keluarga, kedudukan wanita, pemilikan, dan penolakan terhadap kekerasan--merupakan teknik dalam konflik pemikiran. Aspek-aspek tersebut mempunyai andil dalam kembalinya keislaman ala al-Ikhwan al-Muslimun.

Beberapa kritik internal yang acapkali dialamatkan kepada keislaman versi al-Ikhwan al-Muslimun tipe lama adalah sebagai berikut.

Pertama, kerja sama dengan eksperimen Iran pada akhir 1970-an dalam bentuk yang berbeda dengan gerakan Islam salaf. Semangat revolusi Iran sangat luar biasa dan tak tertandingi oleh gerakan Islam mana pun, bahkan oleh gerakan di luar Islam. Kerja sama tersebut berpengaruh besar bagi perkembangan pemikiran politik dan gerakan massa, sekalipun terkadang ditemui sikap-sikap yang berlebihan di dalamnya.

Kedua, kerja sama dengan eksperimen Sudan. Eksperimen ini merupakan ikhtiar gerakan Islam Sunni untuk mengatasi pandangan kontemporer mengenai kelompok salaf serta membangun corak hubungan tertentu antara kelompok salaf fundamentalis dan realitas kebudayaan kontemporer. Eksperimen Sudan mempunyai pengaruh praktis bagi perkembangan Jamaah Islam di Tunisia pada level fundamental, sosial, dan mahasiswa.

Ketiga, kerja sama dengan berbagai kelompok. Oleh karena itu, belum sampai dua bulan mengumumkan peraturan penetapan bermacam-macam kelompok, Jamaah Islam telah mengumumkan pembentukan gerakan politik, yakni Harakatul-Ittijaahil-Islami (Jiwan, 1981). Tidaklah mungkin menginterpretasikan hal itu dan menerima gerakan sejak terjadinya hubungan saling berdampingan dan berdialog dengan partai-partai komunis dan sekularis untuk memperkuat gerakan-gerakan di dalam negeri.

Keempat, kerja sama antara keislaman salafi dan rasional tidak terbatas pada bidang politik, tetapi juga pada pemikiran sosial-politik. Upaya-upaya yang ditekankan oleh gerakan --khususnya gerakan mahasiswa-- adalah diskursus sosial, yakni usaha menggunakan setiap revolusi sosial untuk memahami paradoks-paradoks dan konflik-konflik nasional atau regional antar berbagai kelompok masyarakat. Berbagai paradoks dan konflik yang semakin meningkat terjadi di antara kalangan tertindas dengan kaum feodalis-kapitalis dari jajaran birokrasi. Kondisi ini merupakan salah satu faktor pendorong menguatnya gerakan Islam kontemporer.

Di antara fenomena dinamika ini adalah perubahan pandangan tentang sistem dari pandangan teologis --yang berkecenderungan mengkafirkan sistem yang dianggap tidak islami-- ke pandangan sosiopolitik teologis yang komprehensif. Pandangan yang disebut terakhir meliputi kediktatoran sistem, kesewenang-wenangan, ketidakefektifan, dan sikap kebarat-baratan.

Salah satu fenomena perubahan tersebut adalah perubahan pemahaman dari reaksi terhadap berbagai kemelut --dengan asumsi bahwa perekayasanya adalah kaum komunis dan seolah-olah Allah hanya menciptakan kita untuk melawan mereka-- ke penggalangan kekuatan untuk memecahkan problema nyata masyarakat yaitu keterbelakangan dan sikap mengekor terhadap dunia luar dalam berbagai bentuknya.

Penjelasan paling awal yang diberikan oleh gerakan dalam kiprahnya memasuki wilayah politik adalah sejak peristiwa '26 (Janfi, 1978). Gerakan menghadapi sistem penguasa secara gigih dan bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa politik.

Sejak 1980, berlangsung diskusi di masjid-masjid yang membahas solusi islami atas problema-problema dalam dunia kerja dalam rangka memperingati Hari Buruh. Selanjutnya, acara ini dicontoh oleh masyarakat umum di desa-desa. Sejumlah pendidik membahas permasalahan sosial dalam perspektif Islam pada peringatan Hari Buruh di sebuah masjid yang dihadiri oleh lebih dari lima ratus aktivis pada 1980. Setahun kemudian pada acara dan tempat yang sama, diadakan ceramah mengenai masalah hak milik pertanian dalam Islam dan proposal pelaksanannya.

Sedangkan keislaman rasional mulai meninggalkan sikap berlebihan dan meringankan serangan-serangannya terhadap kelompok salafi dan tradisional. Hal itu menandakan munculnya keseriusan untuk menjauhkan diri dari sikap merendahkan kelompok-kelompok lain. Kelompok Islam rasional pun mulai meninggalkan Kiri Islam dan mencoba lebih mengapresiasi perasaan salafi.

Meski demikian, kelompok Islam rasional masih tetap mempertahankan pandangan pokoknya yakni mengutamakan rasio daripada teks meskipun mereka telah membangun hubungan dialektis antara rasio dan teks dalam wacana baru. Pada dasarnya, bentuk baru ini tidak berubah drastis dari bentuk sebelumnya. Padahal kompromi antara wahyu dan rasio tidak dapat diterima oleh kelompok fundamentalis Islam.

Kelompok Islam rasional masih tetap mempertahankan tesisnya bahwa perkembangan syariat sejalan dengan perkembangan realitas tanpa membedakan antara ajaran yang baku (tsabaat) dan yang berkembang (tathawwur). Bahkan bagi aliran ini, perkembangan yang melampaui teks-teks qath'i sekalipun dapat dipertimbangkan demi mewujudkan maqaasid (tujuan inti suatu doktrin), misalnya dalam masalah poligami. Majalah al-Ahwaal asy-Syakhsyiyyah yang menyatakan diri sebagai corong liberasi (pembebasan) juga menempatkan rasio dan bukan teks sebagai parameter pemikiran.

Sebelumnya, kelompok Islam rasional melancarkan serangan pemikiran terhadap kelompok salafi secara terus menerus. Kelompok ini juga mengerahkan kemampuan optimalnya untuk mendekati aliran kiri (Kiri-Marxis, pen.) pada level teoretis dan praktis, baik dengan mengadopsi pemahaman Marxisme ortodoks maupun Neomarxisme.

Dalam sebuah wawancara dengan pers Afrika tentang perspektif gerakan Islam, seorang tokoh Islam rasional ditanya mengenai partai apa yang akan dipilihnya. Ia menjawab akan memilih partai komunis karena dinilainya mempunyai program yang jelas. Sementara itu di kampus-kampus, para mahasiswa Islam progresif berkoalisi dengan front kontra-Islam.

Seiring dengan konflik-konflik yang terjadi, terjalin pula kerja sama antara kelompok tradisional, salafi, dan rasional, atau dengan kata lain, antara tradisi, teks, dan realitas. Akan tetapi, kerja sama tersebut sangat sulit terealisasi.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: apa agenda gerakan Islam pada awal 1980-an dan awal abad ke-15 Hijriah? Apa yang masih tersisa dari pemikiran Islam kalangan tradisional dan salafi pasca perubahan pandangan pada Muktamar Luar Biasa April 1981? Apa pandangan Muktamar mengenai masalah poligami, sikap politik, kedudukan wanita, dan distribusi kekayaan negara?

Aspek yang tersisa dari kelompok tradisional adalah apresiasi terhadap ciri-ciri khususnya, yakni mengapresiasi mazhab Maliki sebagai teknik pelaksanaan ibadah, tradisi-tradisi keagamaan, memperbaiki pengamalannya dengan melepaskan diri dari bid'ah, dan tidak melarang pertemuan dan afiliasi terhadap gerakan dengan membiarkan gerakan berkembang secara natural melalui aktivitas-aktivitasnya.

Aspek yang tersisa dari keislaman salafi ala al-Ikhwan al-Muslimun adalah penerapan pandangan khas mereka dan hasilnya yang dapat diringkas menjadi tiga butir sebagai berikut.

Pertama, rujukan kaum muslimin adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa takwil yang menyimpang dan jauh dari teks (nash). Peran rasio bukanlah sebagai sumber hukum syariat, melainkan hanya sebagai alat bantu untuk memahami redaksi nash, kejelasan pesan, dan ber-istinbath (mengambil konklusi) dari teks dengan metodologi yang telah disepakati para ulama.

Telah disepakati bahwa pembuat hukum adalah Allah SWT. Karena itu, syariat bersifat tetap meskipun fikih dapat berkembang atau berubah sejalan dengan kondisi masyarakat. Seorang muslim yang telah mencapai tingkat mujtahid atau orang-orang yang mempunyai otoritas di bidang fikih dapat memilih pandangan-pandangan fikih, baik yang klasik maupun modern, sepanjang pilihan itu relevan dengan situasi kondisi dan tidak menyimpang dari garis pemikiran Islam. Seorang muslim yang ahli dalam ushul fikih hendaklah mengambil konklusi dari dasar-dasar hukum Islam.

Kedua, mempercayai kekomprehensifan dan relevansi Islam untuk segala zaman, wilayah, dan manusia. Islam juga sejalan dengan pluralisme dan kecenderungan-kecenderungan seluruh umat manusia.

Ketiga, menyadari pentingnya kerja kolektif yang terorganisasi untuk mengadakan perubahan metodologi Islam dalam rangka menerapkannya sebagai sistem kehidupan dan peradaban yang praktis.

Sedangkan yang tersisa dari keislaman rasional di Tunisia adalah elemen-elemen pemikiran Islam sebagai berikut.

Pertama, menekankan pentingnya pembebasan dari taklid terhadap tradisi. Contoh-contoh yang pernah terjadi dalam sejarah Islam tidak ada yang harus dipertahankan kecuali teks-teks agama itu sendiri dan hubungannya dengan realitas. Metode yang ditempuh adalah berijtihad untuk menarik konklusi pemikiran-pemikiran baru mengenai masyarakat dan peradaban.

Kedua, menekankan pentingnya memahami realitas dan perkembangan lokal (nasional) dan internasional. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan masyarakat baru yang mempunyai rasio terbuka dan jiwa yang bebas.

Ketiga, menegaskan diakuinya hak berbeda pendapat dalam hal-hal ijtihadiyah, namun harus disertai dengan kesatuan barisan umat Islam.

Demikianlah pembahasan penulis. Semoga ada manfaatnya bagi kebangkitan Islam yang kita nanti-nantikan.

Wallahu a'lamu bish-shawwab.

Catatan Kaki

1 Lihat Ziyad Kurdistan, L'Anenir No.30

2 Majalah 15/12 No. V

3 Lihat Ustadz 'Abid al-Jabiri, Studi tentang Peranan Kelompok Ortodoks dalam Pembaruan di Negara-negara Timur Jauh, makalah disampaikan pada Seminar Kebangkitan Islam di Tunisia pada Oktober 1584.






 

Sejarah islam nusantara : islam meretas kebangkitan

Islam Meretas Kebangkitan Deliar Noer berkata, “Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam”. Katanya lagi, “Sesuatu gerakan yang penting di Indonesia mulanya adalah gerakan orang-orang Islam. Mereka yang bergerak di bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri dari mereka yang telah meninggalkan tempat buaian mereka semula, tempat mereka mula-mula sekali mengecap asam garam pergerakan.”

Oleh Agung Pribadi
Hal ini dapat kita buktikan. Beberapa tokoh pergerakan nasional terkemuka dari berbagai aliran berasal dari gerakan Islam. Untuk aliran nasionalisme radikal Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI). Soekarno sendiri pernah menjadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri di bawah bimbingan Tjokroaminoto. Bahkan beberapa tokoh-tokoh PKI zaman pergerakan nasional berasal dan terinspirasi oleh perjuangan SI. Tan Malaka sendiri, yang menurut Kahin, adalah seorang Komunis Nasionalis dan pendiri partai Murba, berasal dari SI Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat (Poeze: 1988).

Umat Islam menduduki peran utama dalam gerakan politik dan militer. Semua perang yang terjadi bersukma dari seruan jihad, perang suci. Sewaktu Pangeran Diponegoro–pemimpin Perang Jawa–memanggil sukarelawan, maka kebanyakan mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam. Tindakan ini menyebabkan ia lebih dicintai dan dihormati rakyatnya.

Demikian pula yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, dan diteruskan oleh Cut Nyak Dhien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape (Kafir-kafir) Belanda yang menyengsarakan umat Islam dan rakyat Aceh.

Begitu juga dengan perang Padri. Bisa dilihat, nama perang Padri menunjukkan perang ini adalah perang keagamaan. Kata padri berasal dari kata ‘Padre’ (pendeta atau pastur). Nama perang ini diberikan Belanda, meskipun Belanda memberi penafsiran yang salah bahwa pejuang-pejuang itu adalah ‘pendeta-pendeta’. Perang tersebut berlangsung selama 16 tahun. Selama itu bentrokan terjadi di kalangan ulama Indonesia: ‘kaum tua’ dengan ‘kaum muda’ dan golongan adat dengan ‘kaum muda’.

Bentrokan ini dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba, namun tidak berhasil. Akhirnya kedua kubu yang saling berselisih itu bersatu dan bersama-sama melawan Belanda.

Para ulama juga memimpin pemberontakan terakhir yang terjadi pada tahun 1927 di pantai barat Sumatera. Belanda, seperti pemerintahan Orde Baru, mencap semua pemberontakan melawan pemerintahan adalah komunis atau PKI. Sehingga hari ini kita temui dalam buku sejarah bahwa pemberontakan tahun 1927 di Sumbar itu adalah PKI. Padahal itu dilakukan oleh Sumatera Thawalib. Memang ada sebagian anggota Sumatera Thawalib yang kemudian menjadi anggota PKI tapi itu hanya sebagian kecil saja (Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia).

Pada saat itu gerak maju perjuangan kemerdekaan Indonesia pindah ke lingkungan politik dan sipil, namun tetap mempunyai warna Islam yang kuat.

Pada 1912, pergerakan politik Indonesia yang pertama, yakni Sarekat Islam (SI), didirikan. Dengan segera, SI menjadi gerakan massa dengan anggotanya mencapai 2 juta orang pada tahun 1919. Sebenarnya Sarekat Islam sudah berdiri sejak tahun 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam.

H. Agus Salim, Tamar Djaja, Ridwan Saidi, Anwar Harjono, Ahmad Mansyur Suryanegara, dan Adabi Darban pernah berkata bahwa tanggal berdirinya Sarekat Dagang Islam ini lebih tepat disebut sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”, dan bukan tahun 1908 dengan patokan berdirinya Boedi Oetomo. Karena ruang lingkup Boedi Oetomo hanyalah Pulau Jawa, bahkan hanya etnis Jawa Priyayi pada tahun 1908 itu. Sedangkan Sarekat Dagang Islam mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi inilah yang layak disebut “Nasional”.

Tetapi golongan nasionalis sekuler, sejarawan-sejarawan yang tidak nasionalis, sejarawan-sejarawan “netral” yang menulis sejarah berdasarkan ‘pesanan’ mengaburkan hal ini. Golongan nasionalis menyimpangkan karena takut. Asas SDI (Sarekat Dagang Islam) adalah Islam, sedangkan golongan nasionalis sekuler paling takut pada Islam sebagai suatu ‘gerakan’. Mereka disebut Islamofobia, meski mereka mengaku beragama Islam. Lalu mengapa Boedi Oetomo yang dijadikan patokan? Karena Boedi Oetomo berdasarkan “Nasionalisme Sekuler” atau lebih tepat lagi “Nasionalisme Jawa Sekuler”!

Seorang orientalis, G.H. Jansen, pernah menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan kemunduran Sarekat Islam. “Programnya merupakan kombinasi yang kurang serasi antara Islam yang agak konservatif dengan anti-kolonialisme yang keras. Kombinasi ini akhirnya menghancurkan kesatuan di dalam diri organisasi itu sendiri dan popularitas organisasi” (G.H. Jansen, Islam Militan).

Tapi sesungguhnya Jansen telah salah besar. Dikotomi yang ia nyatakan, Islam dan antikolonialisme adalah keliru. Sebab salah satu karakteristik Islam adalah antikolonialisme. Apalagi dengan mengatakan Islam itu “agak konservatif”. Ini salah sekali. Karena Islam itu progresif dan “up to date”, selalu relevan sepanjang zaman.

Kesalahan lain Jansen karena ia mengatakan penyebab kehancuran SI adalah kombinasi yang kurang serasi antara Islam dengan antikolonialisme. Padahal penyebabnya (penyebab utama) adalah infiltrasi dan penetrasi dari orang-orang komunis kepada Sarekat Islam. Mereka mengira Islam dan komunis sama karena sama-sama membela kaum tertindas (mustadh’afin).

Penyebab tertipunya orang-orang Islam anggota SI ini adalah karena SI kurang memberikan porsi yang cukup untuk membahas Islam secara ilmiah, pembahasan masalah sosial, dan kehidupan sehari-hari secara ilmiah. Sedangkan orang-orang komunis menyentuh bidang akal. Akhirnya hancurlah SI. Tadinya SI adalah sebuah partai politik terbesar di Indonesia/Hindia Belanda kemudian pecah menjadi dua. SI Putih tetap bergaris dan berhaluan Islam, sedangkan SI Merah bergaris dan berhaluan komunis yang nantinya berubah menjadi PKI.

Saingan SI yang berhasil adalah Muhammadiyah. Sebenarnya kurang tepat juga bila disebut saingan karena kedua organisasi ini ‘fastabiqul khairat’ (berlomba-lomba berbuat kebaikan), apalagi mereka menghadapi musuh yang sama yaitu penjajah Belanda. Tetapi penulis tetap memakai istilah ini karena berdasarkan pada istilah yang dipakai para ahli sejarah Indonesia, baik sejarawan Indonesia maupun sejarawan asing (Indonesianis). Muhammadiyah didirikan di tahun yang sama, 1912. Muhammadiyah aktif khususnya dalam bidang pendidikan dan sosial dakwah bilhal serta dakwah bil lisan.

Tahun 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB). Anggotanya kebanyakan adalah golongan elit yang berpendidikan Barat yang masih ingin memegang teguh keislaman. JIB di kemudian hari banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin Indonesia Merdeka, semisal M. Natsir, Moh. Roem, Yusuf Wibisono, Harsono Tjokroaminoto, Sjamsuridjal, dan lain sebagainya. Dengan demikian sampai tahun 1930 pergerakan nasional Indonesia praktis didominasi (kalau tidak mau disebut dimonopoli) aktivis-aktivis Islam. Perjuangan tahun 1930-an sampai 1940-an terdiri dari pergerakan Islam dan golongan nasionalis sekuler atau “kalangan kebangsaan yang netral agama”, istilahnya Deliar Noer.

Orang-orang nasionalis berkata bahwa o-rang-orang nasrani pun turut berjuang dalam usaha mengusir penjajah. Mereka mengambil contoh Pattimura atau Thomas Mattulessy. Padahal tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong dan isapan jempol dari seorang yang bernama M. Sapija (Agung Pribadi, Pattimura itu Muslim Taat, 2003 atau Drs. M. Nour Tawainella, “Menjernihkan Sejarah Pahlawan Pattimura” dalam Panji Masyarakat 11 Mei 1984). Tokoh Thomas Mattulessy tak pernah ada. Yang ada adalah Kapiten Ahmad Lussy atau Mat-Lussy, seorang Muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda.

Menurut Fakta sejarah, bahkan Sisingamangaraja XII pun seorang muslim. Tetapi Nugroho Notosusanto cs berkata bahwa Sisingamangaraja XII adalah penganut agama Sinkretis antara agama Kristen, Islam dan agama Batak.

Jendral Sudirman yang seorang guru Muhammadiyah pun adalah seorang Islam yang taat. Sudirman berjuang mengusir Belanda tidak atas dasar nasionalisme sekuler. Dia berjuang sebagai seorang Muslim yang membela negaranya. Tulisan tentang beliau kebanyakan ditulis oleh orang-orang nasionalis sekuler seperti Nugroho Notosusanto yang kini terbukti telah memalsukan Sejarah PKI. Ia juga kedapatan memalsukan sejarah Jong Islamieten Bond pada buku Sejarah Nasional Indonesia jilid V halaman 195-196.

R.A. Kartini pun bukanlah seorang yang memperjuangkan emansipasi wanita an sich. Ia seorang pejuang Islam. R.A. Kartini sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah, ketika ia mencetuskan ide-idenya. R.A. Kartini sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minazh zhulumati ilan nuur (Habis Gelap Terbitlah Terang), tetapi ia wafat sebelum sempat membaca terjemahan al-Qur’an selain juz 1 sampai juz 10. Akibatnya pengaruh teman-temannya yang mayoritas Nasrani dan Feminis Liberal, bahkan ada yang Yahudi, masih terlihat jelas.

Fakta Peranan Pemuda Islam
Ada fakta menarik yang dipublikasikan oleh Ahmad Mansyur Suryanegara tentang peranan pemuda. Selama ini tokoh-tokoh seperti Endang Saefuddin Anshari, Harry J Benda, John Igleson Clifford Geertz, dalam karyanya menggolongkan tokoh agama yang karena menyandang gelar “Haji” atau “Kiai” menyangka bahwa mereka sudah tua. Padahal mereka adalah para pemuda. Misalnya HOS Tjokroaminoto pada waktu ia memimpin SI usianya masih muda. Pada tahun 1912 ia baru berusia 30 tahun. Melihat ke masa sekarang pengertian pemuda berdasarkan keputusan Menteri P dan K RI No. 0323/V/1978, pemuda adalah orang di luar sekolah maupun perguruan tinggi dengan usia antara 15-30 tahun. Kiai Haji Mas Mansur yang pada usia 12 tahun sudah menunaikan ibadah haji, sudah masuk gerakan mencintai tanah air. Kemudian mendirikan Nahdhatul Wathan yang berarti “Kebangkitan Negeri atau Negara” pada tahun 1916 saat usianya baru 20 tahun. Ia lalu pindah ke Muhammadiyah dan aktif di sana pada umur 26 tahun.

Demikian pula halnya dengan organisasi pemudi, rata-rata anggota dan pemimpinnya di bawah 30 tahun. Tetapi selama ini para ahli menggolongkannya sebagai gerakan wanita. Apalagi dengan peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember, maka orang mengira bahwa yang bergerak adalah ibu-ibu yang berusia cukup tua.

Pemuda Islam Indonesia Zaman Jepang
Pada awal pendudukan Jepang semua organisasi dilarang, kecuali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang nantinya menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi semi militer dari Masyumi adalah Hizbullah dan Sabilillah yang juga diperbolehkan eksis. Di sana adalah ajang pelatihan semi militer dari pemuda-pemuda. Lambang organisasi militer PETA adalah simbol Islam, yaitu bulan sabit. Yang menjadi komandan-komandan PETA dipilih orang yang berpengaruh. Selain guru sekolah, banyak sekali guru pesantren yang menjadi komandan PETA dengan pangkat perwira menengah. Menurut seorang ahli dari Belanda, BJ Boland, ini adalah salah satu hikmah pendudukan Jepang bagi umat Islam Indonesia, yaitu islamisasi di kalangan tentara Indonesia. Tetapi di akhir pendudukannya, Jepang lebih mendekati golongan nasionalis sekuler melalui Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa) dan gerakan 3A.

Pemuda Islam Pasca Proklamasi
Pada masa Revolusi mayoritas orang Islam berjuang dengan takbir “Allahu Akbar”. HMI pun berdiri di tengah-tengah revolusi tahun 1947. Pada Masa Demokrasi Liberal, Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) menjadi organisasi Onderbouw atau bawahan dari partai-partai yang ada. Dengan kata lain pemuda terlibat dalam “Politik Aliran”. HMI walaupun independen dan bukan merupakan Onderbouw Masyumi seperti yang dikira banyak orang, akan tetapi tokoh-tokoh HMI sangat dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi karena adanya persamaan ideologi keagamaan (modernisme Islam) dan kepentingan, yaitu anti PKI.

Pemuda dan Mahasiswa Islam 1965-1985
Pemuda Islam terutama PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) berperan sangat besar dalam Orde Baru. Biasanya apabila ada suatu perubahan sosial baik yang radikal (revolusi) atau evolusi, peran pemuda Islam terutama mahasiswa Islam cukup menonjol. Misalnya dalam revolusi di Iran dengan Bani Sadr, Khomeini, dan Ali Syariatinya, di Afghanistan dengan Ghulam Muhammad Niyazi beserta murid-muridnya para ketua aliansi tujuh partai terbesar di Afghanistan semisal Gulbudin Hikmatyar, Abdur Rabir Rasul Sayyaf, Burhanudin Rabbani, dan lain-lain. Juga revolusi di Aljazair dengan Abbas Madani beserta FIS-nya. Evolusi di Malaysia dengan Anwar Ibrahim yang dulunya merupakan aktivis demonstrasi mengkritik pemerintah Malaysia (dia berasal dari ABIM, Angkatan Belia Islam Malaysia), dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya Jong Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional yang mana cabang-cabangnya tersebar di seluruh Indonesia. Pemuda Masyumi pada masa Demokrasi Liberal juga sangat berperan. Untuk periode 1960-an sampai 1970-an yang menonjol adalah PII, HMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, organisasi di bawah naungan NU). Akan tetapi dalam periode 1965-1985 peranan pemuda Islam agak tersamarkan karena semua organisasi pemuda Islam, para anggotanya melepas “jaket” dan melebur dalam organisasi yang bersifat nasionalis. PII masuk dalam KAPPI. HMI dan PMII dalam KAMI dan banyak lagi. Organisasi-organisasi seperti di atas terlibat dalam bentrokan-bentrokan fisik di lapangan (di daerah) dan mengalami benturan sangat keras. Benturan antara kubu “hijau” dengan kubu “merah”. Dalam mengkritik Rezim Soekarno, PII dan HMI sangatlah vokal dan ini menjadi ciri mereka yang utama. Tetapi entah mengapa sejak HMI mengakui Pancasila sebagai asasnya, ciri vokal itu hilang. Atau PII yang tetap vokal dan tidak mengakui Asas Tunggal Pancasila menyebabkan organisasi itu secara atas tanah dikatakan bubar tetapi di bawah tanah PII itu tetap eksis, namun menjadi PII-Ilegal. Tahun 1973 pelajar-pelajar Islam yang tergabung dalam PII menguasai gedung DPR-RI pada saat berlangsung sidang membahas RUU Perkawinan.

Pada tanggal 20 Maret 1978 terjadi Demonstrasi menentang P4 dan aliran kepercayaan masuk GBHN oleh Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang dimotori Abdul Qadir Djailani. Demikian pula delegasi PII, HMI, GP Anshor, IMM, IPNU, dan PMII intensif berdialog di gedung MPR-RI dengan para anggota MPR sejak tahun 1977 sampai tahun 1978 menentang masuknya aliran kepercayaan dalm GBHN 1978. Last but not least, HMI, IMM, PMII, dan pendatang baru KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) sangatlah berperan dalam aksi-aksi reformasi menumbangkan Soeharto. Ternyata dalam rentang waktu yang panjang ini pemuda Islam sangat berperan dalam menentukan jalannya negeri ini.

Lalu, apakah kita hanya akan merenungi kejayaan masa lampau ataukah akan menentukan buat masa depan? Itu semua tergantung kepada kita sendiri! Wallahu A’lam bish Shawab.

Penulis Peneliti Yayasan Harkat Bangsa

rismandukhan.multiply.com/journal/item/50/Sejarah_Islam_Nusantara_Islam_Meretas_Kebangkitan - 32k –

· PENULIS : Reza Arif Fadillah

November 27, 2007 @ 2:45 pm

Agama Nabi Ibrahim as awalnya adalah monoteisme, yaitu percaya bahwa hanyalah ada satu Tuhan yang ada. Pemikiran paganisme yang mempercayai tentang banyak Tuhan adalah hasil dari proses panjang peradaban setelahnya yang hanya dibuat-buat oleh manusia. Islam, Yahudi, dan Kristen adalah contoh-contoh agama yang menyebutkan bahwa mereka awalnya mempercayai satu Tuhan dari masing-masing nabi mereka yang saling terkait dekat satu sama lain. Pemikiran tentang konsep tidak adanya Tuhan atau Atheisme sudah lewat berlalu seharusnya, karena mereka hanya memikirkan tentang kehidupan dunia saja tanpa akhir. Jelaslah penemuan tentang Big Bang telah membantah seluruh anggapan atheisme itu. Kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini Tuhan telah mewahyukan mereka dengan bermula dari agama Ibrahim tersebut.
Tahun 1850 SM, Abram dititahkan oleh Yang Maha Agung untuk hijrah. Abram mengubah namanya menjadi Ibrahim, sebagai tanda status barunya bahwa Yang Maha Agung telah memilihnya menjadi nabi-Nya. Sebagai tanda bagi status barunya, dia harus berjanji kepada Tuhan, dengan balasan berkah bagi Ibrahim dan keturunannya. Keturunan Ibrahim akan menjadi orang-orang besar dan Tuhan menjanjikan akan memberi tanah Kanaan kepada mereka. Peristiwa ini telah mengubah dunia. Tidak hanya kaum Yahudi, keturunan Ibrahim secara fisik, yang melihat peristiwa ini sebagai tanda awal mula sejarah mereka. Bisa terbilang, Nabi Ibrahim ini telah melakukan revolusi yang sangat kuat dalam sejarah. Orang-orang Kristen dan Muslim juga memiliki nabi yang juga berasal dari keturunan Ibrahim.
Dalam peradaban Kristen pun demikian, Yesus atau sering kita sebut dengan nabi Isa as, adalah termasuk keturunan Ibrahim melalui pertalian darah Siti Sarah. Yesus atau nabi Isa as dalam perkembangan tidak lebih besar penyebaran agamanya dibanding St. Paul. St. Paul memang sangat berjasa untuk menyebarkan agama ini, namun sayangnya dia belum pernah bertemu dengan Nabi Isa as secara tatap muka. St. Paul adalah orang yang mirip dengan seseorang sahabat Nabi Muhammad saw di dalam sejarah dimana sahabat dekat beliau saw yang bernama Umar bin Khattab menyerahkan dirinya kepada nabi saw karena melihat selembar ayat Al-Qur’an. Sebagaimana dengan St. Paul, ia yang awalnya adalah salah seorang dari para tukang jagal nabi Isa as, malah berbalik arah menjadi pendukung dan penyebar agama tersebut karena melihat lembaran dari injil. Dalam perkembangannya terbentuklah perjanjian lama dan perjanjian baru dari tangannya.
Islam yang mengajarkan agama Tauhid tanpa harus menambah-nambah Tuhan seperti yang dilakukan oleh Yahudi dan Kristen yang sudah seharusnya menjadi konsep yang diterima semuanya pun juga mengakui dengan pasti bahwa Nabi mereka Nabi Muhammad saw adalah juga keturunan dari nabi Ibrahim as namun melalui istri keduanya yang bernama Siti Sarah. Dengan jelas dalam sholat yang dilakukan umat Islam di hampir seluruh dunia bahwa nabi Ibrahim as terucap berulang-ulang kali sampai-sampai tidak terhingga dalam tahyat mereka. Sebetapa kuat nabi Ibrahim as mendapat penghargaan dari Allah swt, Tuhan satu-satunya kaum muslimin.
Tetapi anehnya menurut pandangan penulis, meskipun bersumber dari keadaan yang sama, yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as. Tetapi, peperangan di antara mereka juga berlanjut. Tetapi agama yang paling benar dan hak dalam kasus ketiga agama besar ini adalah Islam. Meskipun Islam memiliki nabi yang berasal dari keturunan bani Israel, yakni nabi besar Muhammad saw, Islam memiliki peran yang dasar, yakni pembebasan umat manusia dari berhala-berhala yang ada, pendeklarasian agama baru yang hak, pembenaran dari Injil juga Taurat, dan jalan kepada Tuhan semesta alam, Allah swt. Maka tidak dapat dipungkiri islam akan bangkit untuk yang kedua kalinya, sabda Rosullullah saw ketika Fathu Mekah : “KEBENARAN TELAH DATANG DAN KEBATILAN TELAH MUSNAH !”
Pemuda adalah kebangkitan Islam, dengan pemuda maka akanlah bangkit Islam. Islam di Iran adalah dominai dari pemuda yang ingin kebangkitan Islam. Oleh karena itu, wajarlah Islam di Iran berkembang pesat. Sebagai seorang pemuda saya bersdia berkorban demi ALLAH dan Rosul-Nya. Saya akan tancapkan bendera Laa ilaaha illa ALLAH di manapun saya berada, meskipun itu di bulan!

frenky.web.ugm.ac.id/1/?p=48 - 32k -

Tidak ada komentar: